Catatan editor

Penyebaran berita palsu menjadi ancaman bagi banyak negara demokratis. Masyarakat memilih pemimpin dan perwakilan mereka dalam parlemen berdasarkan, salah satunya, informasi yang beredar di publik. Kini dengan perkembangan teknologi informasi dan platform media sosial, siapapun bisa membuat, menerima dan menyebarkan informasi, baik berdasarkan fakta maupun kebohongan. Peneliti Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Kunto Adi Wibowo, Detta Rahmawan, serta Eni Maryani meneliti faktor-faktor apa yang menyebabkan orang menyebarkan hoaks.

Pada debat calon presiden (capres) Indonesia kedua 17 Februari lalu, para akademisi yang kami hubungi mengatakan meski performa Joko Widodo lebih kuat dibandingkan Prabowo Subianto keduanya tidak memberikan jawaban substantif mengenai isu energi, pangan, sumber daya alam, infrastruktur dan lingkungan hidup.

Dosen Ilmu Tanah Universitas Andalas Dian Fiantis menganalisis lebih dalam lagi soal hal-hal yang luput dibicarakan oleh para capres, terutama mengenai janji swasembada pangan. Ia menulis bahwa bahwa saat ini sawah-sawah di Indonesia telah beralih fungsi lahan, dan ini dapat mengancam target produksi padi Indonesia.

Prodita Sabarini

Editor

Artikel teratas

shutterstock. www.shutterstock.com

Penelitian di Indonesia: umur tidak mempengaruhi kecenderungan orang menyebarkan hoaks

Kunto Adi Wibowo, Padjadjaran University; Detta Rahmawan, Padjadjaran University; Eni Maryani, Padjadjaran University

Temuan di Jawa Barat tidak menunjukkan adanya hubungan antara umur, tingkat pendidikan, dan kemampuan ekonomi terhadap kecenderungan menyebarkan hoaks.

Petahana Joko Widodo (kiri) bersalaman dengan penantang Prabowo Subianto dalam Debat Calon Presiden, 17 Februari 2019. EPA/Adi Weda

Jawaban dua capres kurang substantif, tapi Jokowi lebih kuat dalam debat kedua: respons akademisi

Chairil Abdini, Universitas Indonesia; Bisuk Abraham, Universitas Indonesia; Eniya Listiani Dewi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT); Martin Daniel Siyaranamual, Padjadjaran University; Raynaldo Sembiring, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) ; Sonny Mumbunan, Universitas Indonesia

Capaian yang disampaikan oleh Jokowi tidak mampu dikritisi oleh Prabowo yang cenderung bicara pada tataran prinsip saja.

Formasi sawah yang indah di Argapura Majalengka Jawa Barat. Muhana Syafiquddary/Shutterstock

Yang luput dari debat capres: alih fungsi lahan sawah potensial ancam produksi pangan

Dian Fiantis, Universitas Andalas

Jika lahan sawah terus berkurang, produksi padi akan turun, stabilitas pangan untuk rakyat terancam. Sayangnya selama puluhan tahun, data lahan tidak akurat.

Politik + Masyarakat

Kesehatan

Bisnis + Ekonomi

Sains + Teknologi

In English

  • Incumbent Jokowi wins over Prabowo in Indonesia’s second presidential debate: experts respond

    Chairil Abdini, Universitas Indonesia; Bisuk Abraham, Universitas Indonesia; Eniya Listiani Dewi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT); Martin Daniel Siyaranamual, Padjadjaran University; Raynaldo Sembiring, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) ; Sonny Mumbunan, Universitas Indonesia

    Prabowo Subianto spoke in normative terms and failed to criticise Joko Widodo's work.

  • Hijab in Indonesia – the history and controversies

    Alimatul Qibtiyah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

    Hijab-wearing culture in Indonesia has changed over time. The hijab is becoming much more popular, so why does it remain a source of controversy?

  • In Indonesia, young and old share fake news on social media

    Kunto Adi Wibowo, Padjadjaran University; Detta Rahmawan, Padjadjaran University; Eni Maryani, Padjadjaran University

    Research in Indonesia shows that people's age, education levels and gender do not determine their likelihood to share fake news. Internet spending does.