Membaca politik Indonesia kerap terasa seperti membaca karangan sastrawan Kho Ping Hoo: seru dan berbabak-babak. Selama lebih tiga bulan keberadaan kami, The Conversation Indonesia telah menerbitkan banyak artikel Politik + Masyarakat dari banyak akademisi dan peneliti mumpuni.
Untuk bacaan akhir tahun, saya merekomendasikan tulisan Merlyna Lim dari Carleton University yang memetakan polarisasi digital di Indonesia seputar pemilihan gubernur di Jakarta. Polarisasi ini masih berlanjut dan mungkin akan terus dirasakan banyak orang bahkan di luar ranah maya sampai, paling tidak, 2019.
Polarisasi ini tidak sekadar jadi goro-goro rakyat di media sosial tetapi mewarnai pertarungan politik elit. Salah satunya menghasilkan revisi undang-undang organisasi masyarakat yang oleh Hellena Yoranita Souisa dan Primatia Romana Wulandari dari University of Melbourne disebut sebagai respons ke arah ultra-nasionalis.
Di tingkat akar rumput, isu politik yang akan terus mengemuka adalah konflik dalam pengadaan tanah. Muhammad Faiz Aziz dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan mengatakan tidak ada transparansi dan partisipasi dalam kebijakan saat ini dan ini merugikan rakyat yang posisinya lemah.
Artikel Seni + Budaya yang ini mungkin bisa membantu Anda merencanakan 2018. Intan Paramaditha dari Macquarie University, yang baru saja meluncurkan novel Gentayangan tahun ini, memberi delapan pilihan buku yang wajib Anda baca sebelum usia 30. Ok sebenarnya berapa pun umur Anda, Anda wajib baca buku-buku ini. Saya sendiri baru baca dua. Mungkin enam yang lain bisa masuk jadi resolusi 2018 saya.
Dari Universitas Sanata Dharma, Nelly Martin, menulis tentang bahasa Indonesia. Sebagai bahasa bikinan yang membuat dunia multibahasa iri, bahasa Indonesia digunakan banyak orang, meski ragamnya informal. Ragam baku dari bahasa Indonesia sendiri jarang sekali ditemui dalam percakapan sehari-hari.
|