Catatan editor

Di berbagai belahan dunia perempuan mulai menyuarakan pengalaman kekerasan seksual yang menimpa mereka, menciptakan gerakan #MeToo yang menyerukan perubahan dan penghormatan terhadap tubuh perempuan.

Di Indonesia, satu dari tiga perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan atau seksual oleh pasangan maupun bukan pasangan selama hidupnya. Pada Hari Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Sedunia 25 November, kami menerbitkan serial mengenai kekerasan terhadap perempuan.

Iwan Awaluddin Yusuf, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia mengamati bahwa keberanian penyintas kekerasan seksual seperti mahasiswa UGM yang melaporkan telah diperkosa oleh rekan mahasiswanya, serta Baiq Nuril, guru di Lombok yang dikriminalisasi karena merekam pelecehan seksual lewat telepon merupakan bentuk gerakan #MeToo Indonesia. Namun, berbeda dengan negara lain di mana dukungan terhadap penyintas mulai menciptakan perubahan, di Indonesia budaya menyalahkan korban masih sangat kuat.

Sementara, peneliti SMERU research institute Niken Kusumawardhani dan Anna Roshida Tamyis menemukan dari penelitian mereka bahwa perempuan miskin enggan melaporkan kekerasan dalam rumah tangga mereka ke pihak berwenang.

Prodita Sabarini

Editor

Artikel teratas

Kasus perkosaan di UGM adalah momentum yang bisa mengingatkan bahwa kita harus mendukung para penyintas. www.shutterstock.com

Kuatnya budaya victim blaming hambat gerakan #MeToo di Indonesia

Iwan Awaluddin Yusuf, Universitas Islam Indonesia (UII)

Dengan kecenderuanga budaya Indonesia yang menyalahkan perempuan dalam kasus kekerasan seksual, korban pelecehan seksual tidak hanya menderita karena diserang tapi juga disalahkan.

Keterbatasan uang dan waktu serta ketidakpercayaan diri di antara perempuan miskin berdampak pada rendahnya peluang mereka untuk mengakses berbagai layanan publik, termasuk layanan perlindungan dari kekerasan. www.shutterstock.com

Mengapa perempuan miskin enggan melaporkan KDRT ke pihak berwenang?

Niken Kusumawardhani, SMERU Research Institute; Ana Rosidha Tamyis, SMERU Research Institute

Pada kasus perempuan miskin, kemiskinan memperparah konteks KDRT yang mereka hadapi.

Politik + Masyarakat

Seni + Budaya

Kesehatan

Lingkungan Hidup

Sains + Teknologi

Pendidikan

In English