Catatan editor

Hari ini Hari Aksara Internasional. Mungkin bagus juga jika kita rayakan dengan membaca buku. Kami mungkin bisa membantu: Intan Paramaditha, pengarang, feminis, dan cendekiawan, menyarankan Anda membaca buku Babi Ngepet karya Abdullah Harahap, juga Raumanen karya Marianne Katoppo. Ada enam buku keren lainnya, yang sebaiknya dilahap sebelum usia 30. Geger Riyanto menyarankan sembilan buku nonfiksi sebelum usia 40 (kami memberi Anda ekstra 10 tahun untuk nonfiksi), mulai dari tentang sejarah gerakan kiri sampai sang filsuf Jawa dari Mataram.

Meski banyak orang Indonesia bersemangat membela warga etnis Rohingya yang harus lari dari kekerasan di Myanmar, tak banyak warga yang rela kota mereka menampung pengungsi. Ini mungkin akan jadi kendala penerapan peraturan baru soal penanganan pengungsi tulis Yunizar Adiputera dan kawan-kawan.

Dan dari edisi Global The Conversation, Nafees Ahmad dari South Asian University menjelaskan diskriminasi berbasis agama ada di balik keputusan perdana menteri India yang berencana mendeportasi 40.000 warga Rohingya dari India.

Prodita Sabarini

Editor

Artikel teratas

Imigran dari Myanmar di rumah detensi imigrasi di Medan, 5 April 2013. Banyak pejabat pemerintah mengakui bahwa rumah detensi imigrasi seharusnya tidak digunakan untuk menampung pengungsi dan pencari suaka. Selain terlalu penuh, tempat detensi didirikan bukan untuk tujuan itu. Reuters/Roni Bintang

Kota dan kabupaten mungkin diminta menampung pengungsi—maukah mereka?

Yunizar Adiputera, Universitas Gadjah Mada ; Antje Missbach, Monash University; Atin Prabandari, Universitas Gadjah Mada

Pemerintah daerah bisa saja diminta menyediakan penampungan bagi pencari suaka dan pengungsi menurut peraturan presiden tentang pengungsi. Ini mungkin akan menemui tantangan dalam pelaksanaannya.

Politik + Masyarakat

Seni + Budaya

Kesehatan

In English