Catatan editor

Perjalanan Indonesia melindungi perempuan dari pelecehan dan kekerasan seksual masih panjang ketika pengadilan negara tertinggi, Mahkamah Agung (MA), memutuskan korban yang berniat mengungkap pelecehan yang dialaminya patut dihukum karena merugikan nama baik pelaku.

Sebagian masyarakat menunjukkan solidaritas pada Baiq Nuril, seorang guru honorer di Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang dihukum denda Rp500 juta dan enam bulan penjara karena merekam dan menyebarkan percakapan telepon dengan atasannya. Mereka mengumpulkan sumbangan untuk menutupi denda yang harus dibayarkan Baiq dan mendorong presiden untuk memberikan amnesti.

Negara seharusnya berpihak pada perempuan korban pelecehan tanpa harus didesak masyarakat. MA sudah memiliki pedoman untuk menerapkan kesetaraan gender dan prinsip-prinsip non-diskriminasi dalam mengadili kasus perempuan di pengadilan. Namun, sayangnya, seperti ditulis Choky R. Ramadhan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan pengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian serta anggota Ombusdman RI, Ninik Rahayu, MA mengingkari produk hukumnya sendiri.

Prodita Sabarini

Editor Eksekutif

Artikel teratas

Gedung Mahkamah Agung RI. Lukman Tomayahu/Wikimedia Commons

Putusan Baiq Nuril: MA abaikan produk hukumnya sendiri yang ingin lindungi perempuan di pengadilan

Choky R. Ramadhan, Universitas Indonesia; Ninik Rahayu, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian

Mahkamah Agung tampaknya mengingkari produk hukumnya sendiri lewat putusan terbarunya dalam kasus Baiq Nuril Maknun. MA memiliki pedoman tentang mengadili perkara terkait perempuan.

Sains + Teknologi

Lingkungan Hidup

Kesehatan

Politik + Masyarakat

Pendidikan

In English