The Conversation

Halo, semua! Semoga selalu dalam keadaan sehat.

Kembali lagi dalam Nawala TCID. Hari ini, saya Robby Irfany Maqoma – Editor Lingkungan The Conversation Indonesia, akan berbagi sorotan kabar serta analisis teranyar seputar isu lingkungan di Indonesia dan mancanegara.

‘Dusta hijau’ ala Pertamina

PT Pertamina (Persero) mengklaim penggunaan gas bumi sebagai salah satu langkah mencapai kondisi impas emisi (net zero emission). Melalui anak usahanya, PT PGN Tbk, Pertamina berambisi mengubah 33 pembangkit listrik tenaga gas sebagai alternatif energi ramah lingkungan pengganti batu bara dan minyak bumi di daerah-daerah terpencil.

Perusahaan menghitung penggunaan gas bumi dapat menekan emisi karbon hingga 650 ribu ton per tahun.

Klaim Pertamina semestinya dipertanyakan mengingat gas bumi merupakan salah satu energi fosil. Selain karbon dioksida, ekstraksi gas fosil tersebut turut menghasilkan emisi gas metana yang mempercepat penipisan lapisan ozon – memperparah laju pemanasan suhu bumi. Ini belum dihitung produk turunannya seperti plastik dan pupuk urea yang berkontribusi pada pencemaran lingkungan.

Pengeboran gas juga diprotes di banyak negara lantaran berisiko merusak biodiversitas dan keseimbangan alam.

Adapun kampanye hijau yang tak sesuai keadaan sebenarnya alias greenwashing mulai mencuat seiring tekanan global untuk mengurangi emisi dari produksi serta pembakaran bahan bakar fossil.

Analisis dari peneliti Indonesian Center for Environmental Law, Chenny Wongkar, mengatakan klaim dusta ramah lingkungan oleh suatu perusahaan berbahaya karena berisiko menghambat upaya penanganan dampak lingkungan yang sebenarnya. Konsumen juga bisa terjerat muslihat karena membeli barang yang tak sesuai dengan faktanya.

Simak analisis Chenny selengkapnya di tautan ini.

Menggugat konsep ‘deforestasi neto’ khas Indonesia’

Artikel tajuk yang terbit di Nature Ecology and Evolution pekan lalu menggarisbawahi hasil riset terbaru Matthew G Betts dari Oregon State University sebagai basis ilmiah seputar pentingnya pelestarian hutan alami. Riset ini menemukan bahwa, keberhasilan ‘penghijauan’ industri kehutanan di sebelah timur Kanada, hanya mampu mendongkrak angka tutupan hutan. Proyek tersebut gagal menahan laju penurunan populasi sekitar 39 spesies burung yang mendiami kawasan tersebut.

Artinya, meski penghijauan setidaknya bisa mengimbangi kemampuan penyerapan karbon, laju kemerosotan biodiversitas yang terjadi akibat pembabatan hutan alami tak bisa dibendung.

Berbasis temuan di atas, artikel tersebut turut mengkritik mekanisme perhitungan deforestasi Indonesia yang menambahkan variabel penghijauan sebagai faktor pengurang yang mengkompensasi angka kehilangan hutan alam. Hasil perhitungan ini menghasilkan angka deforestasi neto atau bersih yang digembar-gemborkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai perhitungan yang ‘adil’ atas tren kehilangan hutan di Indonesia.

Borobudur pun terimbas perubahan iklim

Candi Borobudur yang merupakan situs warisan dunia juga rentan terhadap iklim yang berubah. Menurut Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Nasional, Junus Satrio Atmodjo, perubahan suhu yang terjadi di sekitar kompleks candi mempercepat laju kerapuhan dan pelapukan batu. Ini mengakibatkan garis relief yang terpahat di sekeliling candi semakin menipis.

Argumen Junus didukung riset yang menyatakan suhu udara maksimum di Borobudur naik dari 37°C pada dekade 1990-an, menjadi 38°C. Kenaikan temperatur, selain karena perubahan iklim, juga terjadi karena perubahan lingkungan Borobudur yang sebelumnya danau dan hutan, menjadi permukiman.

Akibat perubahan iklim: risiko acakadut biodiversitas laut

Perubahan iklim yang menaikkan temperatur air laut dapat memicu gelombang migrasi berbagai spesies laut besar-besaran dalam rangka adaptasi. Analisis terbaru yang terbit di The Conversation menyatakan, banyak perairan akan kedatangan spesies baru yang bisa memporak-porandakan keseimbangan biodiversitas lautan setempat.

Misalnya, melelehnya es di laut Arktik akan membuka jalur pelayaran baru sehingga memicu perpindahan air laut dari Eropa ke Asia, begitu juga sebaliknya. Budi daya perairan juga akan berpindah ke tempat yang lebih cocok untuk suatu spesies. Maraknya budi daya oyster di Hawaii, hasil perpindahan industri dari kawasan barat Laut Pasifik menjadi contohnya.

Simak analisis selengkapnya yang ditulis oleh peneliti Stellenbosch University, Nicole Martin.

-

Nantikan hasil kurasi isu-isu lainnya oleh editor The Conversation Indonesia yang dikirim langsung ke surelmu setiap hari.

Salam lestari!

Robby Irfany Maqoma

Editor Lingkungan

Lingkungan