Halo, semua! Semoga selalu dalam keadaan sehat.

Selamat datang kembali di Sepekan Lingkungan. Mulai edisi ini, saya Robby Irfany Maqoma, editor lingkungan dan energi The Conversation Indonesia, yang akan berbagi hasil kurasi isu-isu lingkungan sepekan terakhir. Salam kenal!

Saya juga mengucapkan selamat hari konservasi nasional pada 10 Agustus. Pekan ini juga ada hari kucing sedunia (8 Agustus) dan hari gajah sedunia (12 Agustus).

Laporan iklim IPCC 2021: Tanda bahaya bagi peradaban manusia

Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) akhirnya merilis laporan kelompok pertama tentang studi iklim terbaru pada 9 Agustus lalu. Studi ini menganalisis lebih dari 14 ribu kajian iklim untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang kondisi bumi saat ini.

Laporan menyatakan bahwa emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia berdampak pada kenaikan suhu 1,1 C selama 1850-1900. Saat ini, kenaikan suhu bumi sudah mencapai 1,2 C dan terus bertambah hingga 1,5 - 2 C, bahkan lebih, dalam waktu dekat. Supaya suhu global tetap di bawah 2 C, emisi harus dikurangi hingga nol pada 2050.

Kenaikan suhu pun berimbas pada gelombang panas ekstrem yang diprediksi semakin sering terjadi, paling tidak setiap satu dekade. Padahal, fenomena ini biasanya terjadi setiap 50 tahun.

Kerusakan iklim permanen juga berisiko terjadi saat arus air hangat di Samudera Atlantik kian melemah dan terancam kolaps. Arus ini mengangkut air hangat dari kawasan tropis di selatan menuju kutub utara. Tanpa arus air hangat, maka badai dan topan ditaksir akan sering mengamuk. Curah hujan di kawasan Asia Selatan, Amerika Selatan, dan Afrika Barat juga bisa berantakan.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Antonio Guterres, menganggap laporan IPCC sebagai kode merah, tanda bahaya bagi kemanusiaan. Para penduduk miskin, kelompok rentan, dan perempuan berisiko semakin terdampak krisis iklim meski mereka hanya menghasilkan emisi yang sangat sedikit.

Dia meminta pemerintahan negara-negara untuk meningkatkan kontribusi untuk meredam laju peningkatan suhu global. Eksplorasi bahan bakar fossil harus segera disetop. Penggunaan energi bersih harus digenjot. Komitmen negara-negara akan dibahas dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim ke-26 (COP-26) November mendatang.

Api di Pulau Komodo

Kebakaran melalap sepuluh hektare padang sabana Laju Pemali di Pulau Komodo bagian barat. Api membara sejak pukul 15.00 WITA pada Sabtu, 7 Agustus. Api baru bisa dipadamkan pada keesokan harinya.

Pihak Balai Taman Nasional Komodo menyatakan tak ada satu pun satwa yang mati karena kebakaran. Kawasan lembah itu diklaim amat jarang didatangi ketika musim kemarau datang.

Hingga saat ini, penyebab pasti kebakaran belum diketahui. Dugaan sementara, api muncul karena kondisi sabana yang kering akibat kemarau panjang.

Kebakaran ini bukan yang pertama. Pada 2018, api juga menghanguskan sepuluh hektare padang sabana di Loh Pede dan Loh Namu, Pulau Komodo. Sama seperti 2021, petugas taman nasional saat itu uga berjanji meningkatkan patroli.

Masih seputar Taman Nasional Komodo. Kali ini, pemerintah menyatakan tengah mengebut revisi amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) proyek infrastruktur di Pulau Rinca dan Pulau Padar. Revisi dilakukan seiring permintaan UNESCO yang menyatakan proyek tersebut berisiko merusak nilai universal luar biasa Taman Nasional Komodo sebagai warisan dunia. Badan PBB itu juga meminta proyek disetop sampai pemerintah menyetor revisi amdal sesuai kaidah konservasi International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Upaya penyelamatan danau kritis dimulai

Setelah tertunda lebih dari 10 tahun, pemerintah akhirnya menerbitkan payung hukum penyelamatan 15 danau dalam Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2021. Regulasi ini menjadi dasar hukum untuk upaya pemulihan danau yang terpusat, setelah sebelumnya berjalan terpisah.

Belasan danau itu dipilih menjadi sasaran pemulihan prioritas untuk mengembalikan kondisi dan fungsi badan air danau, daerah tangkapan air, dan sempadan danau. Aksi penyelamatan dilakukan oleh tim di tingkat pusat. Presiden Joko Widodo menunjuk Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono, sebagai ketua harian, dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, sebagai ketua dewan pengarah.

Sebelumnya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia memperingatkan bahwa kerusakan danau di Indonesia umumnya terjadi karena adanya ledakan jumlah fitoplankton dari unsur hara yang terlalu banyak. Ledakan tersebut menurunkan kecerahan air, peningkatan konsumsi oksigen, hingga menurunkan kualitas air.

Selain pencemaran, menurunnya kualitas danau juga terjadi karena penangkapan ikan secara berlebihan, maupun aktivitas budidaya perikanan yang tidak terawasi dengan optimal. Di Danau Maninjau, misalnya, yang berstatus tercemar berat lantaran endapan pakan ikan di dasar danau menumpuk hingga 50 juta meter kubik.

 

Sampai jumpa pada nawala berikutnya.

Salam!

Robby Irfany Maqoma

Editor Lingkungan

Lingkungan