Halo, semua! Semoga selalu dalam keadaan sehat.

Selamat datang kembali ke Sepekan Lingkungan, nawala yang menyajikan highlight berita-berita seputar lingkungan mancanegara dan nasional.

Keok beruntun taipan sawit Papua

Tiga perusahaan sawit bermasalah yang hendak membabat hutan demi perkebunan kelapa sawit di Papua mesti rela dipecundangi tiga kali. Kemarin, Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura memenangkan pemerintah atas gugatan yang diajukan tiga korporasi tersebut: PT Sorong Agro sawitindo, PT Papua Lestari Abadi, dan PT Inti Kebun Lestari.

Operasi tiga korporasi tersebut pertama kali keok saat Bupati Sorong Jhonny Kamuru membatalkan izin mereka – yang kemudian memicu gugatan oleh perusahaan. Pemerintah menyatakan tiga perusahaan itu belum mengantongi hak guna usaha lantaran proyek perkebunannya tidak disetujui masyarakat adat.

Perwakilan masyarakat adat Moi dari enam distrik di Sorong, Papua Barat, juga bersepakat mendukung pencabutan izin tiga perusahaan sawit demi kelestarian hutan yang telah menjadi bagian dari kehidupan mereka.

Restorasi hutan terganjal kualitas bibit

Studi dari Departemen Ilmu Sistem Lingkungan dari ETH Zurich menyatakan rencana Indonesia, India, Filipina, dan Malaysia untuk reforestasi hutan seluas total 47,5 juta hektare pada 2030 sulit mencapai target. Kebijakan besar yang menelan ongkos ratusan juta dolar AS ini diprediksi terganjal perkara kekurangan jumlah bibit tanaman hutan yang berkualitas.

Riset tersebut memperkirakan, pemenuhan target reforestasi akan membutuhkan sekitar 157 miliar bibit pohon hingga sembilan tahun mendatang. Nah, kapasitas pemasok – fasilitas persemaian – tak mampu memenuhi kebutuhan itu.

Selain perkara jumlah, keberagaman bibit pohon juga menjadi persoalan. Pasalnya, upaya reforestasi membutuhkan keberagaman jenis pohon untuk memperkuat biodiversitas.

Masalah lainnya adalah kualitas genetik bibit yang diprediksi tak berusia lama. Kualitas reforestasi yang dijalankan juga diprediksi sulit terpantau dengan baik. Hal ini berkaca dari lemahnya pemantauan program-program yang telah dijalankan sebelumnya.

Lobi ekosida hingga ke Mahkamah Internasional

Pemerintah Bangladesh, Samoa, dan Vanuatu bersepakat untuk mengupayakan pengakuan kejahatan lingkungan atau ekosida sebagai tindakan kriminal global yang diadili dalam Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court atau ICC). Langkah tersebut dibicarakan dalam pertemuan tahunan negara peserta ICC ke-20 di Hague, Belanda.

Berdasarkan Statuta Roma, ICC hanya berwenang mengadili perkara genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan tindakan agresi.

Perjuangan merumuskan ekosida sebagai tindak pidana internasional digagas oleh 12 advokat dari sejumlah negara. Para advokat mengusulkan amandemen Statuta Roma, dimulai dari paragraf pembukaan yang mengakui lingkungan global saat ini tengah dalam ancaman.

Ekosida, berdasarkan ringkasan dalam rumusan tersebut, dimaknai sebagai tindakan menghancurkan (cide atau sida yang berarti maksud untuk membunuh) _oikos/eco_ (bahasa Yunani yang berarti rumah).

Berdasarkan usulan revisi Artikel 8, kehancuran lingkungan yang dimaksud memiliki dampak yang parah dan meluas secara jangka panjang.

Rumusan ini turut diadopsi oleh Ecolo-Groen atau partai hijau Belgia yang berhasil memaksa parlemen setempat untuk meminta pemerintah Belgia memperjuangkan keberlakuan tindakan ekosida.

Emisi super besar karhutla global

Analisis sejumlah peneliti Copernicus Atmosphere Monitoring Service/CAMS – lembaga meteorologi Eropa – mengungkapkan kebakaran hebat yang melanda hutan dan lahan di belasan negara di dunia berkontribusi pada pelepasan emisi sebesar 6.450 megaton setara karbon dioksida. Angka ini lebih dari dua kali lipat dari jumlah emisi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil di Eropa pada 2020.

CAMS mengingatkan bahwa ke depannya, emisi kebakaran akan semakin hebat seiring dengan peningkatan suhu bumi akibat perubahan iklim.

-

Oh ya teman-teman, mulai awal Januari tahun depan, The Conversation akan meleburkan seluruh konten newsletter kami ke dalam satu newsletter utama. Harapannya, kami bisa menyajikan ringkasan berita dan analisis secara lebih efisien, terpusat, namun tetap beragam.

Sampai jumpa pada nawala berikutnya.

Salam lestari!

Robby Irfany Maqoma

Editor Lingkungan

Lingkungan

In English