The Conversation

Halo, pembaca! Semoga selalu dalam keadaan sehat.

Kembali lagi dalam Nawala TCID. Hari ini, saya Robby Irfany Maqoma – Editor Lingkungan The Conversation Indonesia, akan berbagi sorotan kabar serta analisis teranyar seputar isu lingkungan di Indonesia dan mancanegara.

Sebelumnya, bantu kami kenali karakter pembaca The Conversation di Indonesia

Pembaca, The Conversation sudah terbit dengan berbagai edisi di sejumlah negara. Kami bermitra dengan para akademikus dan lembaga penelitian untuk memperluas hasil penelitian dan analisis kredibel seputar isu-isu terkini.

Kami meminta waktunya untuk mengisi survei pembaca The Conversation Indonesia. Dengan mengetahui demografi pembaca terkini, kami harap bisa lebih meningkatkan kualitas artikel-artikel yang ada di The Conversation Indonesia sehingga dapat dikonsumsi serta berdampak bagi kalangan yang lebih luas lagi.

Survei dapat diisi (maupun disebarluaskan) di tautan ini.

Terima kasih!

G20 jadi sebab COP27 gagal

Konferensi perubahan iklim PBB atau COP27 yang baru saja berakhir pekan lalu semestinya menjadi ajang pemenuhan “utang ekologi” dari negara maju ke negara berkembang dan strategi pengakhiran era minyak dan gas di seluruh dunia.

Sayangnya, menurut Professor of Earth System dari University College London, Mark Maslin, COP27 akan diingat sebagai sebuah kegagalan. Sebab, meski forum menyepakati adanya skema dana loss and damage sebagai ganti rugi kepada negara berkembang, belum ada kepastian seputar detil pendanaannya. Forum ini juga gagal menyepakati rencana penutupan pertambangan migas yang menjadi salah satu penyebab pemanasan global.

Lebih lanjut, Mark menganalisis empat sebab kegagalan COP27. Salah satunya yang diungkapkan Mark adalah konferensi negara-negara G20 di Bali yang diadakan bersamaan dengan pertemuan iklim PBB. Dua konferensi penting ini membuat konsentrasi pemimpin dunia terpecah, sehingga beberapa kepala negara G20 tidak menghadiri di COP27.

Tiga sebab lainnya seputar kegagalan COP27 dapat disimak di tautan ini.

Apakah Piala Dunia masih akan ada di tengah krisis iklim?

Sejak 20 November, tim sepak bola terbaik dari seluruh dunia akan berkumpul di Qatar dalam Piala Dunia 2022. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, Piala Dunia digelar pada akhir musim gugur lantaran cuaca amat terik di Qatar sejak musim panas kemarin. Kondisi ini tentu berdampak bagi kesehatan penonton dan pemain.

Banyak pula acara olahraga yang batal maupun ditunda akibat cuaca ekstrem – salah satu dampak perubahan iklim.

Lantas, apakah Piala Dunia masih akan ada pada 2100 ketika suhu bumi akan naik setidaknya 2 derajat Celcius? Bagaimana Piala Dunia akan menyesuaikan diri dengan banjir, taifun, serangan panas, ataupun badai dingin yang berisiko lebih sering akibat krisis iklim?

Simak ulasan selengkapnya dari peneliti Université de Sherbrooke di Kanada, Thomas Deshayes di tautan ini.

Bagaimana cara berdonasi pakaian yang ramah lingkungan?

Gempa 5,6 skala Richter yang berpusat di Cianjur, Jawa Barat, pada 21 November memanggil para pegiat kemanusiaan untuk bergerak menggalang donasi uang maupun barang-barang, salah satunya adalah pakaian bekas.

Aksi cepat warga patut diacungkan jempol. Namun, langkah kita berdonasi – khususnya berbagi pakaian bekas – mesti hati-hati. Sebab, niat baik ini bisa menjadi masalah baru bagi lingkungan maupun penyintas bencana jika tidak dilakukan secara bijak.

Dalam ulasannya di The Conversation, dosen dari Universitas Diponegoro, Anjani Tri Fatharani, berbagi saran dan rekomendasi agar kita bisa menyalurkan semangat kemanusiaan tanpa membikin beban baru bagi penyintas bencana. Salah satunya adalah memilah-milah pakaian yang akan disumbangkan.

Saran lainnya dari Anjani dapat diakses di laman ini.

-

Nantikan hasil kurasi isu-isu lainnya oleh editor The Conversation Indonesia yang dikirim langsung ke surelmu setiap hari.

Salam lestari!

Robby Irfany Maqoma

Environment Editor

Lingkungan