The Conversation

Baru-baru ini, penyanyi cilik yang viral karena menyanyi di Istana Negara Farel Prayoga buka suara tentang bagaimana orang tuanya menghabiskan uang miliaran rupiah yang ia hasilkan dari bakat menyanyinya selama tiga tahun. Untuk dirinya, hanya tersisa tidak sampai Rp100 ribu. Farel bahkan mengaku ia telah disuruh mengamen sejak usia 8 tahun.

Fenomena orang tua mengeksploitasi anak demi keuntungan finansial semacam ini marak terjadi. Meski pedih, cerita Farel masih lebih baik daripada anak-anak yang dipaksa mengamen di pinggir jalan.

Eksploitasi anak tidak mengenal status sosial dan ekonomi. Tengok saja anak-anak yang dikontenkan orang tuanya di media sosial. Tidak jarang di antara mereka menjadi viral dan terkenal. Dengan dalih sebagai pengelola media sosial/manajer seorang kidfluencer, orang tua atau walinya mendulang pundi-pundi rupiah.

Hal ini tentu melanggar Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang tegas mematok batas usia minimal tenaga kerja di Indonesia di usia 18 tahun. Mereka yang mempekerjakan anak di bawah usia ini dapat dikenai sanksi. Dan yang pasti aktivitas mencari dan menghasilkan uang bukanlah tugas dan tanggung jawab seorang anak kepada orang tuanya.

Orang tua atau wali harus lebih mawas diri. Tidak ada yang salah dari niat mengembangkan bakat dan minat anak. Eksploitasi bisa berujung pada kerusakan psikis, privasi, tumbuh kembang, hingga pendidikan anak yang bisa berdampak pada usia dewasa kelak.

Apa yang terjadi pada Farel dan banyak anak lainnya memunculkan pertanyaan serius tentang peran orang tua dalam melindungi hak anak-anak dari dampak meluasnya ceruk komersialisasi. Setiap anak berhak untuk menikmati masa kanak-kanaknya dengan bermain. Bukan untuk bekerja dan jadi tulang punggung ekonomi keluarga di usia dini.

Salam.

Nurul Fitri Ramadhani

Politics + Society Editor

Aleksea/shutterstock

‘Kidfluencer’ memperkaya keluarga, tapi bagaimana etikanya dan apa dampaknya bagi anak?

Novia Utami, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Influencer cilik memang bikin gemas, tapi potensi eksploitasi anak dan dampaknya membuat cemas.

Inti dari pendidikan adalah untuk memungkinkan pelajar muda untuk menjadi baik, memberi anggota masyarakat. David Brewster/Star Tribune via Getty Images

Kenapa anak-anak harus pergi ke sekolah?

Hawani Negussie, University of Massachusetts

Prinsip inti pendidikan adalah untuk memungkinkan siswa menjadi anggota yang baik, memberi dan berkontribusi pada komunitas mereka dan dunia.

WPixz/shutterstock

Biarkan anak-anak bermain, mereka butuh kebebasan untuk berkembang

Brendon Hyndman, Charles Sturt University

Anak-anak perlu bermain dan menjelajahi dunia mereka sendiri tanpa terlalu banyak batasan. Berikut beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk meningkatkan kesempatan anak-anak melakukannya.

Ekonomi

  • Jalan terjal mengentaskan warisan kemiskinan ke anak

    Agung Pardini, Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS)

    Pengentasan kemiskinan dapat kita lakukan dengan kolaborasi yang mendukung tercapainya harapan anak-anak miskin menuju masa depan yang lebih sejahtera

Isu Anak Muda

Kesehatan

Lingkungan

Pendidikan + Budaya

Politik + Masyarakat

Sains + Teknologi

  • Cara membuat prompt AI yang bagus biar produktif: tip dari ahli

    Sandra Peter, University of Sydney; Kai Riemer, University of Sydney

    Mampu menggunakan tools AI kini jadi sama pentingnya dengan menggunakan aplikasi kantor lainnya. Kuncinya ada pada membuat prompt yang baik lengkap dengan konteks, perspektif, gaya, dan tugas.

In English

Insert additional text here before the image.

Insert your custom text here. Add any additional content or details as needed.