Halo! Kita bertemu lagi di nawala Catatan Mingguan; berikut kilasan perkembangan sosial dan politik penting dari sepekan terakhir.

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Kepala BRIN Laksana Tri Handoko - yang baru dilantik pekan lalu - menjelaskan bahwa Ketua Dewan Pengarah BRIN dijabat oleh Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), yaitu Megawati.

Penempatan ini mendapat berbagai kritikan - walau ada juga dukungan.

Dewan Penasihat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Herlambang P. Wiratraman, misalnya, menilai tak ada relevansi menempatkan Dewan Pengarah BPIP sebagai Dewan Pengarah BRIN. Kecuali jika lembaga riset dan inovasi itu dibentuk untuk melayani kekuasaan dan bukannya didorong berani kritis terhadap kekuasaan, kata dia.

Minggu lalu, kami menurunkan tulisan tentang bagaimana kelembagaan BRIN yang memberi peluang intervensi politik menunjukkan keengganan pemerintah mengutamakan riset dan teknologi serta menjadi bukti keterbatasan ide-ide teknokrasi.

Pekan lalu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo melantik ketua BRIN baru sekaligus melantik Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud-Ristek), dan Bahlil Lahadalia sebagai Menteri Investasi.

Pembentukan ketiga lembaga baru ini penuh kontroversi dan kritik.

Beberapa akademisi, misalnya, mengatakan pemisahan Kemenristek dari BRIN sehingga melebur dengan Kemdikbud memunculkan berbagai tantangan tata kelola kebijakan pendidikan maupun riset.

Akademisi lain juga mengisyaratkan bahwa peleburan Kemenristek sekadar untuk memberi ruang untuk kehadiran Kementerian Investasi.

Dalam perkembangan lain, pemerintah telah mengkategorikan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua serta seluruh organisasi dan orang-orang yang tergabung di dalamnya serta yang mendukung gerakan tersebut sebagai teroris.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan masifnya pembunuhan dan kekerasan menjadi alasan pemerintah dalam penetapan tersebut.

Tim Kajian Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengkritik langkah tersebut tidak bijaksana dalam penyelesaian konflik di Papua dan merupakan skenario perang dari pemerintah.

Pada Maret, TCID menurunkan tulisan tentang bagaimana pemerintah tidak pernah serius dan konsisten menyelesaikan masalah kesejahteraan dan perdamaian di Papua.

Alih-alih menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu, pemerintah justru gencar meningkatkan kehadiran militer di Papua yang berpotensi memicu kasus-kasus pelanggaran HAM baru.

Simak pula tulisan-tulisan terbaru lain termasuk soal kehadiran polisi virtual yang justru menambah masalah baru dengan mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara; dan juga temuan riset yang menunjukkan jika perempuan Indonesia berdaya, memiliki kesetaraan dan kesempatan berkembang di ruang publik, maka komunitas mereka akan lebih mampu bertahan dan pulih dari bencana.

Terima kasih telah berlangganan newsletter Politik+Masyarakat ini! Ikuti juga newsletter The Conversation Indonesia yang lain yaitu Kesehatan (langganan lewat link ini), Lingkungan (di link ini), Ekonomi+Bisnis (link ini), dan Pendidikan+Anak Muda (klik link ini)

Demikian catatan pekan ini. Kita jumpa lagi pekan depan. Jaga kesehatan dan jaga kewarasan.

Andre Arditya

Editor Politik + Masyarakat

Politik + Masyarakat