The Conversation

Dear Sobat TCID.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNC-CRC) pada 1990, setahun setelah dokumen tersebut disahkan. Artinya, negara kita secara formal mengakui anak sebagai manusia seutuhnya dan bukanlah properti orang tuanya.

Konvensi ini tak menegasikan kewajiban pengasuhan orang tua dan memastikan orang dewasa memenuhi yang terbaik bagi perlindungan dan tumbuh kembang anak. Namun, ini adalah bentuk pengakuan bahwa anak pun memiliki hak asasi manusia universal dan hak khusus karena usianya

Anak-anak Indonesia, pun anak-anak lain di seluruh dunia, berhak atas hak-hak dasar seperti hak hidup dan perlindungan dari kekerasan serta memperoleh pendidikan dan fasilitas kesehatan memadai.

Sayangnya, masih banyak catatan merah dalam upaya perlindungan dan pemenuhan anak di Indonesia. Pada 2023, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan hampir 22% anak tidak melanjutkan ke jenjang SMA alias tak memenuhi tuntutan Wajib Belajar 12 Tahun. Ekonomi kerap jadi alasan karena anak dianggap sudah cukup umur untuk membantu orang tua mencari pemasukan. Secara tak langsung, ini turut merefleksikan masih tingginya angka pekerja dan perkawinan di bawah umur di Indonesia.

Kekerasan pun masih membayangi, dengan lebih dari setengah kasus pelecehan seksual pada anak tak dilaporkan. Pelanggaran data pribadi anak, perundungan hingga paparan konten kekerasan di dunia maya yang dengan mudah diakses pengguna di bawah umur makin ramai menjadi pemberitaan dan perlu menjadi perhatian.

Di sisi kesehatan dan pemenuhan gizi, angka stunting masih mengkhawatirkan dan penurunannya cenderung lamban. Pemberitaan soal kandungan gula dalam susu formula pun membuat resah, apalagi dengan posisi Indonesia yang kini telah menempati peringkat ke-5 pengidap diabetes terbanyak.

Satu hal penting yang perlu diingat, ketika kita menaruh harapan pada anak-anak kita sebagai penerus bangsa, mereka harus besar menghadapi krisis iklim dan kerawanan pangan sebagai warisan lintas generasi yang harus mereka emban.

Ada banyak pekerjaan rumah yang perlu kita selesaikan. Tajuk ini bukanlah untuk menakut-nakuti, namun untuk membangun kesadaran bahwa untuk melindungi dan memenuhi hak anak, kesadaran mesti datang dari orang dewasa yang berada di sekitar mereka. Anak bukanlah tanggung jawab orang tua semata, kewajiban kita semua untuk memperjuangkan hak mereka

Selamat Hari Anak, mari kita jaga keselamatan anak-anak Indonesia.

Salam,

Anggi M. Lubis

Managing Editor

Petugas memindahkan orang dengan obesitas, Cipto Raharjo, 45 tahun dengan berat 200 kg, ke atas truk pemadam kebakaran saat evakuasi untuk dirawat di RSUD Kota Tangerang, Banten, 4 Juli 2023. ANTARA FOTO/Fauzan/tom

Obesitas di Indonesia tinggi: minuman manis kemasan mengintai sejak kanak-kanak

Data pemerintah yang diolah oleh UNICEF menunjukkan pada 2018, 1 dari 5 anak usia sekolah (20% atau 7,6 juta), 1 dari 7 remaja (14,8%, atau 3,3 juta) dan 1 dari 3 orang dewasa (35,5%, atau 64,4 juta) di Indonesia hidup dengan kelebihan berat badan atau obesitas. Riset juga menunjukkan bahwa konsumsi minuman manis di Indonesia cukup tinggi, memakan 67% dari total pengeluaran rumah tangga. Selain itu, setidaknya 2 dari 3 anak usia 3 tahun di Indonesia mengonsumsi satu minuman manis per hari.

Piyaset. Shutterstock.

Perubahan iklim berkontribusi pada kekerasan terhadap anak-anak – begini penjelasannya

Krisis iklim tak sekadar membuat hawa makin panas, namun juga tekanan ekonomi dan mental yang membuat anak-anak rentan mengalami kekerasan domestik. Migrasi akibat perubahan iklim yang membuat orang-orang terisolasi di tempat penampungan semakin menambah prevalensi terjadinya kekerasan. Belum lagi, disrupsi ekonomi rumah tangga akibat makin maraknya bencana membuat anak mesti turut membanting tulang membantu keluarga hingga dinikahkan di bawah umur.

‘Game online’ memiliki risiko pada anak, termasuk risiko mengalami kekerasan seksual dari sesama ‘gamer’. yul1 illustrator/shutterstock.

Waspada aksi bejat pedofil di ‘game online’

Data menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ketiga (di bawah Filipina dan Thailand) sebagai negara dengan jumlah pemain game online terbanyak di dunia. Selain risiko kecanduan, game online juga memungkinkan penggunanya bertemu dengan orang lain menggunakan game online sebagai kedok. Predator seksual, misalnya, kerap menggunakan game online sebagai medium untuk melancarkan aksi bejat dan bujuk rayu mereka di balik anonimitas dan kemudahan interaksi.

Isu Anak Muda

Kesehatan

Lingkungan

Pendidikan + Budaya

Politik + Masyarakat