The Conversation

(copy tasting - done)

Halo, pembaca! Semoga selalu dalam keadaan sehat.

Kembali lagi dalam Nawala TCID. Hari ini, saya Robby Irfany Maqoma – Editor Lingkungan The Conversation Indonesia, akan berbagi sorotan kabar serta analisis teranyar seputar isu lingkungan di Indonesia dan mancanegara.

Sebelumnya, bantu kami kenali karakter pembaca The Conversation di Indonesia

Pembaca, The Conversation sudah terbit dengan berbagai edisi di sejumlah negara. Kami bermitra dengan para akademikus dan lembaga penelitian untuk memperluas hasil penelitian dan analisis kredibel seputar isu-isu terkini.

Kami meminta waktunya untuk mengisi survei pembaca TCID. Dengan mengetahui demografi pembaca terkini, kami berharap bisa lebih meningkatkan kualitas artikel-artikel yang ada di TCID sehingga bisa lebih mudah dikonsumsi serta berdampak bagi kalangan yang lebih luas.

Survei dapat diisi (maupun disebarluaskan) melalui tautan ini.

Terima kasih!

Pariwisata: solusi meredam kepunahan massal

Peneliti memperkirakan Bumi sedang mengalami gelombang kepunahan massal keenam, yakni suatu gelombang kepunahan spesies flora dan fauna selama rentang waktu tertentu. Laju kepunahan, yang diduga berasal dari ulah manusia, juga dianggap jauh lebih cepat dibandingkan lima gelombang kepunahan massal sebelumnya.

Pakar biologi konservasi dari Universitas Indonesia, Jatna Supriatna, mengatakan fenomena ini terjadi karena pembangunan kerap meminggirkan biodiversitas. Stigma negatif terhadap spesies liar juga memperburuk persoalan ini.

Kendati demikian, dunia – khususnya Indonesia – masih punya kesempatan membalik keadaan. Menurut Jatna, salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah menggalakkan aktivitas pariwisata dan pembangunan ekonomi secara lebih selaras, sekaligus merangsang masyarakat untuk lebih menghargai keanekaragaman hayati.

Ulasan pidato Jatna yang ia bacakan dalam Widjojo Nitisastro Memorial Lecture oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia dapat kalian baca selengkapnya di tautan ini.

90% spesies laut dalam bahaya

Sebuah riset terbaru memetakan ketahanan iklim dari hampir 25 ribu spesies laut. Hasilnya, 90% dari spesies yang dipetakan tersebut berada dalam kondisi berbahaya, alias berisiko “kalah” saat menghadapi iklim yang berubah.

Risiko ini menggambarkan bagaimana karakter bawaan dari suatu spesies, misalnya ukuran badan ataupun toleransi suhu mereka, saling bersilangan dengan kondisi laut di masa lalu, masa kini, maupun masa depan di setiap lokasi di mana mereka ditemukan.

Risiko tertinggi terjadi di kawasan subtropis dan tropis yang berkemungkinan menjadi titik panas keterancaman biodiversitas, maupun di ekosistem dekat pantai yang menyumbang 96% dari tangkapan ikan global.

Hasil riset selengkapnya dapat kalian akses di laman ini.

Bias daratan megaproyek IKN

Presiden Joko Widodo terus mengebut pelaksanaan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Penajam Paser Utara-Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Sayangya, pelaksanaan yang cepat menyisakan satu masalah yang tertinggal: perencanaan pengelolaan laut.

Telaah dari peneliti Padjadjaran Ocean Data Center, Marine Kenzi Martasuganda dan Noir Primadona Purba, menemukan megaproyek ini masih bias daratan. Misalnya, konsep kota yang berkelanjutan masih bertumpu pada hutan. Perencanaan ruang laut di kawasan ini nyaris terlupakan.

Ini bukan perkara kecil. IKN akan menjadi pusat aktivitas negara sehingga berisiko menambah tekanan manusia terhadap ekosistem. Pengelolaan IKN yang minim perencanaan tata ruang laut dapat berdampak pada ekosistem perairan seperti mangrove dan biota laut, serta terganggunya mata pencaharian nelayan dan masyarakat pesisir di wilayah sekitar IKN.

Analisis dari Marine dan Noir selengkapnya dapat kalian akses di tautan ini.

-

Nantikan hasil kurasi isu-isu lainnya oleh editor The Conversation Indonesia yang dikirim langsung ke surelmu setiap hari.

Salam lestari!

Robby Irfany Maqoma

Editor Lingkungan

Lingkungan