Halo, semua! Semoga selalu dalam keadaan sehat.

Selamat datang kembali ke Sepekan Lingkungan, nawala yang menyajikan highlight berita-berita seputar lingkungan mancanegara dan nasional.

Latah rencanakan pemakaian teknologi carbon capture

Indonesia ikut-ikutan merencanakan penggunaan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage atau CCS). Korporasi batu bara pelat merah PT Bukit Asam Tbk dan PT Medco Energi Internasional Tbk berencana menggunakan peranti tersebut untuk menangkap emisi karbon dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mereka. Teknologi ini diklaim mampu meningkatkan kontribusi perusahaan terhadap perubahan iklim.

Sejumlah studi justru menganggap pemakaian teknologi tersebut memiliki lebih banyak risiko ketimbang manfaat.

Risiko pertama adalah kebutuhan energi maha besar. Riset National Academics of Sciences Amerika Serikat menyatakan, proses penangkapan satu gigaton karbon akan membutuhkan energi sebesar 3,8 ribu terawatt jam (setara produksi listrik AS pada 2020).

Kebutuhan setrum akan menghasilkan emisi yang jauh lebih parah. Bahkan, dengan teknologi CCS lawas – melalui penyimpanan karbon di sumur minyak – emisi karbon yang terlepas ke atmosfer bakal 4,7 kali lipat lebih banyak ketimbang aktivitas pengeboran minyak dan gas bumi.

Ongkosnya pun mahal betul. Operasional CCS yang tersebar di beberapa negara bagian di AS ditaksir akan menelan biaya hingga US$ 1 triliun (Rp 14,2 ribu triliun) setahun.

 

Eropa usulkan perluasan larangan produk hasil deforestasi

Komisi Uni Eropa mengusulkan aturan yang akan memperluas larangan masuk produk-produk terkait deforestasi yang legal maupun ilegal. Dalam aturan saat ini, larangan hanya diberlakukan bagi produk terkait deforestasi ilegal.

Larangan berlaku bagi produk terkait kedelai, daging, kelapa sawit, kayu, coklat, kopi, kulit, dan mebel. Aturan ini diprediksi bisa memangkas sekitar 31,9 juta metrik ton emisi karbon per tahun.

Indonesia termasuk dalam negara yang masih melegalkan penggundulan hutan, atau disebut deforestasi terencana. Dalam janji iklim atau disebut Nationally Determined Contribution, Indonesia melegalkan deforestasi hingga sebesar 325 ribu ha per tahun – atau sekitar separuh luas Jakarta. Salah satu sektor yang dibolehkan membabat hutan adalah perkebunan.

 

Bagaimana memaksa korporasi sawit dan tambang memulihkan lahan?

Presiden Joko Widodo berjanji akan memaksa perusahaan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan untuk membangun fasilitas persemaian pohon. Harapannya, pohon hasil persemaian dapat digunakan untuk merehabilitasi kawasan rentan banjir dan longsor.

Jokowi mencontohkan fasilitas persemaian di Rumpin, Jawa Barat, yang mampu menghasilkan 12 juta bibit tanaman per tahun. Pemerintah berencana membuat 30 fasilitas serupa di beberapa daerah, termasuk di Kalimantan Timur untuk menyuplai kebutuhan pohon di calon ibu kota negara baru.

Rencana ini menjadi angin segar bagi tren rehabilitasi hutan dan lahan Indonesia yang hanya mencapai 50 ribu ha per tahun. Angka itu jauh masih timpang dibanding laju deforestasi 115 ribu ha tahun lalu.

Jika janji tersebut terealisasi, maka ada sekitar 32 miliar batang pohon yang dapat dihasilkan dari ratusan fasilitas persemaian perusahaan sawit dan tambang. Jumlah pohon segitu dapat digunakan untuk merehabilitasi lahan seluas 10,8 juta ha setahun.

--

Oh ya teman-teman, mulai awal Januari tahun depan, The Conversation akan meleburkan seluruh konten newsletter kami ke dalam satu newsletter utama. Harapannya, kami bisa menyajikan ringkasan berita dan analisis secara lebih efisien, terpusat, namun tetap beragam.

Sampai jumpa pada nawala berikutnya.

Salam lestari!

Robby Irfany Maqoma

Editor Lingkungan

Lingkungan

In English