The Conversation

Halo, semua! Semoga selalu dalam keadaan sehat.

Kembali lagi dalam Nawala TCID. Hari ini, saya Robby Irfany Maqoma – Editor Lingkungan The Conversation Indonesia, akan berbagi sorotan kabar terkait isu lingkungan di Indonesia dan mancanegara.

Penyebab coklatnya Teluk Bima

Akhir April lalu, media sosial sempat diramaikan dengan foto sebagian perairan Teluk Bima di Nusa Tenggara Barat, yang tertutupi lapisan berwarna coklat. Beberapa orang menuding kejadian ini akibat pembuangan limbah, hingga tumpahan minyak bumi.

Peneliti dari Universitas Mataram dan IPB University lantas memeriksa fenomena ini. Hasilnya, lapisan coklat itu disebabkan oleh ledakan fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae. Konsentrasinya di perairan mencapai 10 - 100 miliar sel per liter – lebih tinggi dari baku mutu fitoplankton yang ditetapkan pemerintah sebesar 1 juta sel per liter.

Para pakar menegaskan fitoplankton jenis ini tak menghasilkan racun. Namun fenomena ini dapat mematikan bagi ikan karena proses penguraian fitoplankton yang mati membutuhkan banyak oksigen.

Belum ada informasi yang jelas terkait apa penyebab ledakan fitoplankton ini. Beberapa faktor yang bisa jadi penyebabnya adalah gangguan manusia, ataupun perubahan suhu dari musim hujan ke musim panas.

Satu dari lima spesies reptil terancam punah

Asesmen terbaru dari puluhan pakar di seluruh dunia melaporkan bahwa 21% dari sekitar 10 ribu spesies reptil di seluruh dunia terancam punah. Ini tersebar dari kelompok kadal, ular, kura-kura, hingga buaya.

Dari ratusan spesies tersebut, kelompok kura-kura dan buaya menjadi yang paling terancam. Sekitar 58% dan 50% dari masing-masing spesies buaya dan kura-kura berisiko punah dari muka bumi.

Laporan ini mencatat kawasan Asia Tenggara, Afrika Barat, Madagaskar, dan Karibia menjadi titik panas kepunahan reptil. Lebih dari separuh spesies yang terancam ini hidup di hutan-hutan.

Simak analisis selengkapnya terkait asesmen tersebut di laman ini.

Tumbuhan asli Indonesia terus tergusur spesies asing

Tumbuhan kelapa sawit, pinus, akasia, merupakan spesies asing yang banyak dibudidayakan di tanah air lantaran bernilai ekonomi. Namun, analisis terbaru oleh Wendy Achmmad Mustaqim, dosen biologi dari Universitas Samudra, menyatakan aktivitas ini justru berisiko menggusur keberadaan tumbuhan asli Indonesia.

Misalnya, ekspansi perkebunan sawit justru menggerus habitat ratusan tumbuhan asli di Kalimantan seperti keruing ataupun pohon kerantungan (Durio oxleyanus, salah satu durian asli) yang menjadi tumbuhan pakan orangutan. Akibatnya, orangutan mencari makan lebih jauh ke tempat lainnya, termasuk ke kebun sawit ataupun rumah warga.

Tergusurnya spesies asli juga bisa mengganggu upaya pemulihan hutan seluas 14 juta ha yang dicanangkan pemerintah. Pasalnya, spesies asli turut berfungsi meningkatkan ketahanan suatu ekosistem terhadap cuaca ekstrem seperti kebakaran ataupun banjir.

Ulasan Wendy selengkapnya dapat diakses melalui tautan ini.

Petaka lingkungan dari invasi Rusia

Perang tak hanya mengakibatkan krisis kemanusiaan, tapi juga bencana lingkungan. Ini termasuk pula agresi Rusia terhadap Ukraina yang sudah berlangsung sejak Maret silam.

Lembaga advokasi lingkungan yang berbasis di Ukraina, Ecoaction, merekam 218 kasus di sepanjang negara ini yang berpotensi membahayakan lingkungan akibat agresi militer Rusia.

Sebagian besar dampak lingkungan yang dihasilkan berasal dari pengeboman fasilitas industri, terminal bahan bakar minyak, pembangkit listrik tenaga uap, dan pipa gas. Tindakan tersebut mengakibatkan kebakaran hebat yang melepaskan emisi gas rumah kaca.

Risiko lainnya adalah pendudukan taman nasional oleh pasukan Rusia. Kementerian Ekologi dan Sumber Daya Alam Ukraina mengatakan hal ini mempengaruhi sepertiga dari total luas taman nasional di negara tersebut – termasuk di antaranya kawasan lahan basah yang berperan vital dalam penyimpanan dan penyerapan karbon.

-

Nantikan hasil kurasi isu-isu lainnya oleh editor The Conversation Indonesia yang dikirim langsung ke surelmu setiap hari.

Salam lestari!

Robby Irfany Maqoma

Editor Lingkungan

Lingkungan