The Conversation

Halo, semua! Semoga selalu dalam keadaan sehat.

Kembali lagi dalam Nawala TCID. Hari ini, saya Robby Irfany Maqoma -- Editor Lingkungan The Conversation Indonesia, akan berbagi sorotan kabar dan analisis teranyar seputar isu lingkungan di Indonesia dan mancanegara.

Berkah lingkungan dari crypto crash

Pekan lalu, pasar dikejutkan dengan anjloknya harga aset kripto Terra Luna hampir 97% dalam sehari. Investor kawakan Robert Kiyosaki juga memprediksi harga Bitcoin dapat terus menurun – meski posisinya dibanding token kripto lainnya tetap perkasa.

Meski membikin pusing sebagian kalangan, krisis aset kripto bisa berdampak baik bagi lingkungan. Pasalnya, aset kripto seperti Bitcoin, Ethereum, ataupun Dogecoin, memakan listrik hingga 300 terraWatt jam (tWh) setahun – setara dengan 80% konsumsi listrik Indonesia. Terkhusus Bitcoin, jejak karbonnya mencapai 114 juta ton setahun, yang hampir menyamai emisi dari peluncuran 380 ribu roket ke luar angkasa.

Aktivitas kripto yang rakus setrum ini disebabkan oleh kinerja komputer yang menganalisis begitu banyak angka sebagai imbas transaksi yang meningkat. Nah, jika transaksi sedikit, bahkan dibekukan, maka beban kerja komputer akan menurun sehingga kebutuhan listrik juga tak sebesar sebelumnya.

Simak analisis dari Peter Howson, dosen senior International Development dari Northumbria University, di sini.

Membongkar mitos Ratu Kidul dengan sains

Pada libur lebaran tahun ini, kematian warga akibat terseret arus terjadi di beberapa pantai di indonesia. Di Pulau Jawa, kasus ini kerap dikaitkan dengan mitos Nyi Roro Kidul (Ratu Kidul), sosok perempuan yang dipercaya ‘menguasai’ pantai selatan.

Secara saintifik, kasus kematian di pantai selatan sebenarnya terkait dengan fenomena rip current (arus balik atau disebut juga arus rabak). Arus ini terjadi akibat adanya pertemuan dua arus sejajar pantai yang kemudian berbalik dengan cepat ke laut. Kasus ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia.

Peneliti sekaligus dosen Ilmu Kelautan dari Universitas Padjadjaran, Noir Primadona Purba, menjelaskan fenomena arus balik dari sudut pandang sains. Dalam uraiannya, Noir menjelaskan karakter pantai yang rawan terjadi arus balik serta cara menghadapinya.

Petaka ekologi dari puntung rokok

Tak hanya berbahaya bagi kesehatan manusia, rokok juga menghasilkan limbah yang merusak lingkungan. Ini dipaparkan Yayasan Konservasi dan Lahan Basah (Ecoton) menemukan sampah puntung rokok di antara timbulan sampah plastik di darat maupun perairan.

Temuan ini didukung data The Ocean Convervancy yang menemukan 53 juta puntung rokok selama aktivitas pembersihan kawasan pesisir sejak 25 tahun terakhir. Angka ini lebih besar dibandingkan sampah plastik. Padahal, studi menyebutkan penguraian sampah rokok membutuhkan waktu 30 tahun.

Selain polusi akibat timbunan sampah, zat kimia satu puntung rokok juga berisiko mencemari seribu liter air dan melepaskan 300 ribu ton mikrofiber per tahun. Angka tersebut sama banyaknya dengan mikroplasti dari limbah pencucian baju.

Gagasan hidrogen hijau ala Pertamina

Korporasi energi pelat merah, PT Pertamina (Persero) menjajaki kerja sama dengan raksasa migas asal Amerika Serikat, Chevron, dalam pemanfaatan teknologi baru panas bumi untuk menghasilkan hidrogen hijau. Proyek percobaan akan dilaksanakan untuk pembuatan 100 kg hidrogen per hari di Blok geotermal Ulubelu, Lampung.

Hidrogen menjadi sumber energi rendah karbon yang bisa dihasilkan dari proses elektrolisis, yakni konversi suatu bahan baku menjadi produk hijau menggunakan listrik dari energi terbarukan.

Selain dari panas bumi, Pertamina sebenarnya bisa melirik sumber energi air untuk menghasilkan hidrogen skala besar. Analisis Denny Gunawan, kandidat doktor dari UNSW Sydney, menguraikan bagaimana inovasi teknologi dapat menajdikan potensi Indonesia sebagai produsen utama hidrogen hijau dunia.

Tulisan selengkapnya dapat dibaca di tautan ini.

-

Nantikan hasil kurasi isu-isu lainnya oleh editor The Conversation Indonesia yang dikirim langsung ke surelmu setiap hari.

Salam lestari!

Robby Irfany Maqoma

Editor Lingkungan

Lingkungan