The Conversation

Halo, sobat pembaca TCID!

Malang betul warga Inggris. Dua kali sudah mereka mengalami sungkawa nasional lantaran penyebaran hoaks. Setelah insiden Brexit yang dipicu oleh maraknya penyebaran kabar kibul pada 2016, kini hoaks disebarkan para pihak—terutama kaum ekstrem kanan—sehingga memicu kerusuhan di 19 kota sejak pekan lalu.

Huru-hara terburuk di Inggris sejak 13 tahun silam ini dipicu oleh kejadian penikaman yang menewaskan tiga anak dan korban luka sepuluh orang lainnya di Southport, Senin pekan lalu. Pelakunya seorang remaja nonmuslim.

Sialnya, tersiar berita bohong bahwa penusuknya adalah seorang muslim migran. Betapa satset-nya hoaks ini merembet di media sosial dan pesan instan—bahkan dengan bantuan kecerdasan buatan (AI).

Walhasil, banyak orang muntab lalu turun ke jalan. Mereka melancarkan serangan kebencian terhadap komunitas muslim dan etnis minoritas, masjid, toko, hingga hotel.

Nah, dalam nawala kali ini, kami membahas bagaimana hoaks masih menjadi momok di era media sosial. Kami mengurasi analisis-analisis terhangat seputar bagaimana dan mengapa kabar bohong menyebar, serta siapa korbannya.

Selamat membaca!

Robby Irfany Maqoma

Environment Editor

Alamy/Benjamin Wareing

Kerusuhan di Inggris: pelaku propaganda mahir menghasut audiens, inilah yang tidak kita lakukan

Richard Fern, Swansea University

Usaha kita memberantas hoaks sering berkutat pada upaya mengusut sumber maupun kontennya. Banyak pihak yang akhirnya terjerumus pada aksi represif, sehingga pelaku sering mencari suaka atas aksi tersebut dengan dalih HAM. Di lain pihak, kita jarang sekali melihat aspek audiens atau penerima kabar bohong dalam lika-liku penyebaran hoaks. Padahal, penerima pesan sangat penting untuk menjadi perhatian. Artikel yang terbit di The Conversation Inggris ini menyuguhkan pendekatan berbeda agar kabar audiens target pelaku-pelaku ini tidak menelan mentah-mentah ataupun bereaksi impulsif atas kabar bohong.

Pathdoc/shutterstock.

4 alasan kuat mengapa hoaks begitu memikat

Nuril Hidayah, Stai Miftahul ' Ula Nganjuk; Finsensius Yuli Purnama, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya; Fitri Murfianti, Leiden University; Loina L. K. Perangin-angin, Swiss German University

Mengapa hoaks sangat mudah memerdaya pembaca? Ada empat alasan yang melandasinya. Pengenalan alasan ini dapat membantu kita mundur sejenak ketika mengakses suatu berita ataupun konten, dan memahami bagaimana pelaku—sadar atau tidak sadar—memanfaatkan empat alasan tersebut untuk membuat kabar kibul.

(Unsplash/Robin Worral)

Digital ‘native’ atau ‘naive’? Generasi Z di Indonesia cenderung percaya info dari pemerintah, tapi kesulitan mendeteksi hoaks

Hilya Mudrika Arini, Universitas Gadjah Mada ; Nurul Lathifah, Universitas Indonesia; Titis Wijayanto, Universitas Gadjah Mada

Kita mengenal Gen Z sebagai golongan yang betul-betul memahami seluk-beluk media digital. Namun ternyata, artikel yang berbasiskan riset ini justru memberi tahu bahwa pemahaman digital tidak menjamin kepiawaian Gen Z mengenali misinformasi. Mereka bahkan kesulitan membedakan mana artikel berita maupun iklan. Guna meningkatkan kemampuan Gen Z, artikel ini menyuguhkan solusi peningkatan literasi digital dan mengajak Gen Z untuk berpartisipasi membagikan informasi yang benar.

Pendidikan + Budaya

Politik + Masyarakat

Kesehatan

  • Aksi iklim para bidan: galakkan praktik menyusui

    Kusmayra Ambarwati, Universitas Respati Indonesia

    Bidan dapat memerkuat peran lingkungannya dengan menerapkan konsep ‘greenfeeding’ yakni advokasi dan pendampingan menyusui bahkan kepada remaja, masa pra nikah dan saat pemeriksaan kehamilan.

Sains + Teknologi

Lingkungan