The Conversation

Halo sobat TCID,

Tanggal 3 September ini, Indonesia akan kedatangan Paus Fransiskus, pemimpin umat Katolik dunia, dalam rangka perjalanan apostoliknya. Selama di Indonesia, Paus tidak hanya akan bertemu Presiden Joko “Jokowi” Widodo di Istana Negara, tetapi juga melakukan pertemuan dengan sejumlah tokoh agama, termasuk Imam Besar Masjid Istiqlal. Hari terakhir kunjungan beliau pada Jumat, 6 September, akan ditutup dengan perayaan Misa Suci di Stadion GBK Senayan, Jakarta.

Sejumlah akademisi dan tokoh agama meyakini bahwa kedatangan Paus mengirimkan pesan pada dunia bahwa Indonesia, sebagai negara mayoritas penduduk Muslim, menjunjung komitmen toleransi dan pluralisme.

Namun, keyakinan akan toleransi tersebut tampaknya masih perlu dipertanyakan. Belakangan, publik tengah memperbincangkan perihal pelarangan penggunaan jilbab di sektor layanan publik, seperti rumah sakit. Sebelumnya, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang kini membina Paskibraka sempat jadi bulan-bulanan publik setelah mengeluarkan aturan tentang standar pakaian, atribut, dan sikap tampang. Ini diduga mengarah pada larangan menggunakan jilbab bagi anggota Paskibraka yang tengah bertugas.

Polemik tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan, benarkah Indonesia sudah cukup toleran dan memberi ruang seluas-luasnya bagi setiap individu untuk mengekspresikan keyakinannya?

Salam.

Nurul Fitri Ramadhani

Politics + Society Editor

(ANTARA FOTO)

Kasus pemaksaan jilbab: bagaimana iklim politik pengaruhi kebijakan seragam sekolah

Sari Oktafiana, KU Leuven

Kontestasi politik di Indonesia, terutama politik Islam, punya andil besar dalam membentuk kebijakan seragam jilbab di sekolah. Dua dekade pasca reformasi hingga sekarang, interpretasi jilbab di lembaga pendidikan masih diwarnai kontestasi. Fenomena pemaksaan jilbab dan resistensinya menunjukkan kohesi sosial yang mulai memudar, terutama akibat polarisasi masyarakat Indonesia yang makin tajam pasca meluasnya demokratisasi dan kebebasan berpendapat.

Umat Muslim melaksanakan salat Idul Adha di depan gereja di Malang, Jawa Timur. Anom Harya/Shutterstock

Organisasi keagamaan lebih toleran pada agama lain dibandingkan agama sendiri, mengapa bisa demikian?

Ferdiyan, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)

Ada asumsi populer bahwa kelompok beragama justru lebih toleran terhadap perbedaan agama, dibandingkan terhadap perbedaan pandangan atau penafsiran dalam satu agama yang sama. Dalam sejarahnya, memang pertentangan di antara kelompok-kelompok dalam Islam ialah unfinished business atau konflik masa lalu yang belum selesai. Contohnya adalah NU yang kerap berhadap-hadapan dengan kelompok-kelompok yang mereka anggap sebagai Islam garis keras, misalnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atau penganut wahabisme.

Paus Fransiskus memimpin kebaktian malam kedua di Basilika Santo Paulus, Roma, pada 25 Januari 2023. Alessandra Benedetti/Corbis via Getty Images

Tidak heran jika Paus berkata menjadi homoseksual ‘bukanlah kejahatan’ - ini penjelasan pakar teologi Katolik

Steven P. Millies, Catholic Theological Union

Paus Fransiskus sebenarnya telah mengajak umat Katolik untuk merangkul dan menerima kelompok LGBTQ. Ia pernah mengatakan bahwa “menjadi homoseksual bukanlah kejahatan" dan "mari kita bedakan antara dosa dan kejahatan". Menurut sejarah, Paus kerap memberikan komentar yang mendukung martabat LGBTQ, meskipun ini telah memicu banyak kritik dari banyak umat Katolik.

Lingkungan

Pendidikan + Budaya