Halo pembaca,

Semoga Anda sehat dan lancar aktivitasnya.

Pemerintah pusat akhirnya memperketat pergerakan orang di Pulau Jawa dan Bali, mulai 3 Juli hingga 20 Juli, untuk memutus penularan COVID-19 yang makin luas dan ganas. Langkah ini sebenarnya terlambat diterbitkan karena kasus COVID-19 telah menembus angka di atas 25.000 kasus. Para ahli kesehatan telah lama memperingatkan pemerintah bahwa lonjakan drastis kasus COVID-19 akan terjadi, tapi pemerintah masih berkukuh mengutamakan kepentingan ekonomi ketimbang kesehatan.

Masalah yang mendasar adalah pemerintah mengakui tidak pernah menduga bahwa setelah Juni, setelah liburan panjang Lebaran Mei lalu, kasus akan melonjak. Padahal, pemerintah memiliki data-data kasus sejak Maret tahun lalu termasuk trennya. Dengan demikian, persiapan untuk menghadapi “badai virus” ini tidak memadai. Dampaknya, saat jumlah pasien yang butuh pertolong makin meningkat, oksigen langka di sejumlah kota dan ruang perawatan di rumah sakit untuk pasien COVID-19 juga makin langka. Dampak paling buruk, angka kematian makin tinggi.

Kita perlu terus mengkritik kebijakan pemerintah yang reaksioner dibanding mengantipasi masalah pandemi. Sebagai bentuk partisipasi warga negara, mari kita batasi mobilitas dan terapkan protokol kesehatan untuk memutus rantai penularan virus corona.

Ahmad Nurhasim

Editor Sains + Kesehatan, Kepala Divisi Training

Suasana pusat perbelanjaan di Jakarta, 29 Juni 2021. Mulai besok hingga 20 Juli, mal ditutup untuk cegah penularan COVID-19. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/hp

Kebijakan Jokowi pengetatan parsial Jawa dan Bali, bagaimana cara supaya efektif turunkan kasus COVID-19?

Ahmad Nurhasim, The Conversation

Idealnya, pembatasan darurat yang diperlukan adalah menarik 100% orang ke dalam rumah dan menghabiskan waktu lebih banyak di dalam rumah selama 2-4 minggu.

Kesehatan

In English