Halo, semua! Semoga selalu dalam keadaan sehat.

Selamat datang kembali ke Sepekan Lingkungan, nawala yang menyajikan highlight berita-berita seputar lingkungan mancanegara dan nasional.

 

Ratusan keranda pembela lingkungan

Selama pandemi melanda sejak 2020, bukan hanya angka mortalitas penduduk dunia yang meningkat, angka kematian pembela lingkungan dan lahan juga. Lembaga internasional advokasi hak asasi manusia, Global Witness, mencatat 227 orang terbunuh saat sedang berjuang melindungi hutan, sungai, maupun ekosistem lainnya di tempat yang mereka tinggali.

Meski angka tersebut merupakan yang tertinggi sejak 2013, lembaga ini menaksir laporan itu tidak mencerminkan keadaan sebenarnya–bisa lebih besar lagi.

Kasus kematian terbanyak terjadi di Kolombia dengan 65 kasus pembunuhan. Angka kematian terbanyak disusul Meksiko dan Filipina yang mencapai masing-masing 30 dan 29 kasus.

Lembaga ini juga mencatat 9 dari 10 korban adalah laki-laki. Meski demikian, perempuan pembela lingkungan ditengarai memiliki tantangan berlipat: ancaman pembunuhan, kekerasan seksual, hingga ketidakadilan gender dalam menyuarakan pendapat di keluarga maupun komunitasnya.

 

Musim gugur proyek karbon Indonesia

Pemerintah Indonesia membatalkan kesepakatan perdagangan karbon yang sudah terjalin selama 11 tahun dengan Norwegia dalam program Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan plus konservasi (REDD+). Alasannya, Norwegia dianggap tak kunjung menyetor Result Based Payment (RBP) sebesar US$ 56 juta atas realisasi pengurangan emisi Indonesia sebesar 11,2 juta ton setara karbon dioksida (CO2e) pada 2016-2017.

Adapun realisasi pengurangan emisi ini mencakup moratorium izin penggunaan hutan alam dan lahan gambut, pemulihan hutan, lahan gambut, serta ekosistem mangrove. Pemerintah pun sudah membentuk lembaga pengelola dana khusus sebagai komitmen dari Pernyataan Kehendak (Letter of Intent) yang diteken kedua pihak pada 2010.

Dalam program REDD+, Norwegia berkomitmen mengucurkan dana hingga US$ 1 miliar ke Indonesia. Namun, sejauh ini realisasinya baru sekitar Rp 50 juta. Pembayaran itu pun hanya dalam rangka uang persiapan, bukan hasil realisasi pengurangan emisi.

Sementara, Brazil sudah menerima dana atas kerja sama serupa hingga US$ 720 juta lantaran dianggap telah berupaya memperkuat kebijakan pelestarian hutan Amazon.

Lambatnya realisasi program REDD+ membuat efektivitas perdagangan karbon dipertanyakan. Pasalnya, selain realisasi yang lambat, tak ada yang tahu sejauh mana upaya konservasi berbayar itu bisa mampu menyerap emisi karbon agar tak menjadi gas rumah kaca.

Selain REDD+ Norwegia, Indonesia juga menyetop kemitraan proyek karbon bersama dua organisasi internasional di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah, dan Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara, Juli lalu. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya berdalih proyek ini melanggar hukum, tanpa menjelaskan detil pasal yang ditabrak.

 

Upaya daur ulang gurun sampah ban Kuwait dimulai

Pemerintah Kuwait menjalin kerja sama dengan perusahaan daur ulang EPSCO Global General Trading untuk mengolah 42 juta ban bekas yang dibuang di gurun pasirnya.

Rencananya, ada sekitar tiga juta ban bekas yang akan diolah saban tahun. Dalam proses ini, ban dibakar dalam tungku pirolisis untuk diolah menjadi bahan baku pembuatan lantai karet.

Upaya pengolahan ban bekas dianggap mendesak karena masifnya jumlah kendaraan di Kuwait: 2,4 juta atau lebih dari separuh populasi negara produsen minyak bumi itu sebesar 4,5 juta jiwa.

 

Sampai jumpa pada nawala berikutnya.

Salam lestari!

Robby Irfany Maqoma

Editor Lingkungan

Lingkungan

Sains + Teknologi

  • Curious Kids: bagaimana keadaan Bumi 500 tahun ke depan?

    Michael A. Little, Binghamton University, State University of New York; William D. MacDonald, Binghamton University, State University of New York

    Secara alami, Bumi terus berubah meskipun terbilang lambat. Namun, manusia mempercepat perubahan ini dengan pemanasan global.