The Conversation

Halo Sobat TCID, Salam Olah Raga,

Tingginya optimisme publik terhadap olahraga nasional sejak dua emas di Olimpiade 2024 Paris dan keberhasilan tim sepakbola senior masuk putaran ke-4 kualifikasi Piala Dunia 2026, mengalami antiklimaks dalam pergelaran PON 2024 Sumatra Utara dan Aceh.

Ajang PON yang seharusnya jadi panggung unjuk kebolehan bibit masa depan olahraga nasional tertutup dengan berita buruk. Sederet kekacauan penyelenggaraan mulai dari tidak siapnya infrastruktur penunjang hingga persoalan klasik di setiap PON—yakni dugaan penyelewengan duit negara yang alokasinya ditaksir hampir atau bahkan tembus triliunan—kembali terjadi.

Tidak ada pecinta olahraga yang bisa mentolerir praktik atur skor yang terang-terangan dipertontonkan di PON. Yang paling menonjol ada pada cabang yang menjadi perhatian utama yakni sepak bola pada partai semi-final antara Aceh melawan Sulawesi Tenggara—yang juga terjadi pada pergelaran PON Papua 2021 antara kesebelasan Aceh melawan Kalimantan Timur.

Pihak-pihak berkepentingan—di luar atlet dan penonton—sedemikian tamaknya merauk keuntungan pribadi. Atlet pun sejak usia dini dipaksa tenggelam dalam praktik yang menggerus nilai integritas dan semangat berkompetisi.

Budaya buruk tersebut sudah teakumulasi dan dirasakan betul oleh atlet dan penonton. Kita ambil contoh tragedi maut di stadion Kanjuruhan Malang pada 2022 silam. Peristiwa tersebut menewaskan 131 orang, melukai 370 orang lainnya, menghentikan gaji pesepak bola liga untuk beberapa termin. Namun, para terdakwa buah keterpurukan tata kelola yang sistemik tersebut hanya dihukum ringan tidak kurang dari 2 tahun.

Memang klise, tapi dalam olahraga, kepentingan atlet dan spirit sportivitas adalah yang utama. PON XXI harusnya menjadi momen evaluasi besar-besaran terhadap pengembangan olahraga nasional. Pengembangan atlet hingga bisa menyentuh level kompetitif yang tinggi akan mendatangkan penonton dan potensi industrialisasi olahraga dengan potensi ekonomi yang tak terkira. Setidaknya dalam sistem olah raga yang maju kepentingan atlet untuk hidup layak hingga di masa pensiunnya bisa terjamin.

Salam.

Sobat pembaca, mari bantu kami untuk mengisi survei media sosial supaya kamu terus mendapatkan konten yang menarik dan relevan dari kami.

Andi Ibnu Masri Rusli

Economy Editor

Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), Mochamad Iriawan. PSSI

Figur militer dan polisi memimpin tata kelola olahraga di Indonesia, efektif atau problematik?

Tangguh Chairil, Binus University

Di Indonesia, kepemimpinan militer dan polisi cukup mendominasi dalam tata kelola olahraga. Politikus juga diberikan tempat yang cukup banyak untuk diberi amanah memegang kepemimpinan cabang olah raga tertentu.  Hal ini perlu mendapat perhatian untuk dievaluasi oleh pemerintah lantaran kebijakan penempatan tersebut sudah terjadi sejak lama sedangkan prestasi olah raga nasional kurang progresif kemajuannya.

Penggemar klub sepak bola Bayern Munich membawa poster berisi dukungan untuk korban tragedi Kanjuruhan. EuroFoot

Tragedi Kanjuruhan: mengingatkan kembali masalah penyalahgunaan gas air mata oleh polisi dan kontroversi PSSI

Tangguh Chairil, Binus University

Masih membekas di ingatan kita bagaimana kelamnya tragedi maut di stadion Kanjuruhan, Malang pada 2022 silam. Kita diperlihatkan bagaimana gelembung dari sistem tata kelola olah raga nasional yang tidak dijalankan dengan serius meletus. Nyawa lebih dari 100 supporter harus gugur sia-sia demi pertandingan sepak bola yang berantakan dari hulu hingga hilirnya.

Pebulutangkis ganda Putri Indonesia Greysia Polii dan Apriyani Rahayu saat menerima medali emas di Olimpiade Tokyo 2020, Jepang, pada Agustus 2021. Sigid Kurniawan/Antara Foto

Habis juara, dibuang saja? Pentingnya memahami perkembangan atlet dan menyiapkan “pensiun” mereka

Ignatius Darma Juwono, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Menjadi atlet memang sering diibaratkan dengan berjudi. Tidak ada yang bisa menjamin kesuksesan seorang atlet. Namun menurut sebuah penelitian yang kami lansir, ketakutan masyarakat akan suramnya menjadi atlet adalah stigma bagaimana seorang atlet bisa menjalani hidupnya begitu pensiun usai mendedikasikan penuh dirinya terhadap olah raga. Sebab hingga saat ini, kita selalu mendengar kisah hidup tragis para atlet lintas cabang olahraga dari berbagai generasi yang jauh dari hingar bingar kejayaannya di masa lampau.

Artikel teratas

Elnur/shutterstock.

Mengapa ‘student loan’ berpotensi memperburuk ketidakadilan dalam sistem pendidikan Indonesia

Sry Lestari Samosir, S.Pd., M.Sos, Universitas Negeri Medan

Kebijakan ‘student loan’ bisa memperparah ketidakadilan sosial, dan semakin mengokohkan kontrol kapitalis atas tenaga kerja. Mengapa demikian?

Politik + Masyarakat

Sains + Teknologi

Ekonomi

Kesehatan

Lingkungan

Isu Anak Muda

Pendidikan + Budaya