Anda kembali membaca Catatan Mingguan, sebuah catatan perkembangan sosial dan politik dari redaksi The Conversation Indonesia sepekan terakhir.

Berikut hal-hal penting yang kami catat terjadi pada pekan ke-28.

Lebih dari empat bulan sejak kasus COVID-19 pertama diumumkan di Indonesia, korban jiwa tenaga kesehatan terus meluas.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat sebelumnya dokter dan perawat yang meninggal akibat wabah sebagian besar bekerja di rumah sakit perkotaan.

Kini wabah juga menelan korban tenaga medis di tingkat pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di perkampungan.

Puskemas tidak dilengkapi jumlah alat pelindung diri (APD) yang layak dan tidak memiliki fasilitas kesehatan yang merata. Faktor lain adalah masih banyak dokter berusia rentan (di atas 60 tahun) yang masih bertugas.

Tenaga medis ko-asisten — mahasiswa kedokteran dalam tahap pelatihan kerja akhir — juga menjadi korban. Selain tidak mendapat APD yang cukup, para ko-as harus bekerja dalam jangka waktu lama dan bergaji kecil.

Pekan lalu, jumlah kasus positif bertambah 11.950, atau rata-rata bertambah lebih dari 1.700 kasus per hari.

Hingga Minggu sore, pemerintah mencatat total jumlah kasus 75.699, naik dari 63.749 kasus dan 54.040 kasus di pekan-pekan sebelumnya.

Sementara itu, Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) dan Koalisi Advokasi Pelindungan Data Pribadi, mengusulkan sanksi pidana dalam rancangan undang-undang (RUU) perlindungan data pribadi (PDP) dihapus, agar tidak tumpang tindih dengan peraturan undang-undang yang sudah ada.

Kedua kelompok juga meminta undang-undang (UU) PDP hanya mengatur ketentuan sanksi administratif dan denda administratif saja dengan perumusan yang lebih baik, termasuk mekanisme penjatuhan denda.

Usul itu disampaikan dalam rapat dengar pendapat dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Indonesia belum memiliki aturan ketat terkait perlindungan data pribadi. Di dunia, 132 negara - termasuk beberapa negara di ASEAN - sudah memiliki regulasi terkait perlindungan data pribadi.

Dalam kesempatan berbeda, beberapa asosiasi perusahaan teknologi yang mengelola sejumlah besar data publik meminta pada anggota DPR agar UU PDP tidak mengatur tentang data-data yang dikombinasi, dienkripsi, dianonimkan, tidak diidentifikasi, dan pseudonim.

Mereka adalah Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI), dan US-Asean Business,

Menurut mereka, data-data ini tidak bisa digunakan untuk mengidentifikasi orang dan beresiko rendah untuk pemilik data, dan bila diatur akan menghambat perkembangan usaha mereka.

Pembahasan RUU PDP ditargetkan selesai pada Oktober tahun ini.

Demikian yang kami catat di pekan lewat.

Tetap jaga kewarasan; tetap jaga kesehatan. Kita jumpa lagi pekan depan.

Andre Arditya

Editor Politik + Masyarakat

Politik + Masyarakat