The Conversation

Halo, semua! Semoga selalu dalam keadaan sehat.

Kembali lagi dalam Nawala TCID. Hari ini, saya Robby Irfany Maqoma – Editor Lingkungan The Conversation Indonesia, akan berbagi sorotan kabar terkait isu lingkungan di Indonesia dan mancanegara.

Panas kutub rasa gurun pasir: celaka dua belas iklim kita

Gelombang panas beruntun tengah menerjang dua kawasan kutub di Antartika dan Arktik. Temperatur di kedua daerah tersebut mencapai rekor tertinggi sebesar 47℃, lebih tinggi 30℃ dibanding keadaan normal. Rekor ini juga nyaris menyamai suhu terpanas rata-rata tahunan di gurun Sahara, Afrika.

Gelombang panas di Antartika disebabkan dari aliran udara lambat namun bertekanan tinggi dari Australia bagian tenggara. Aliran ini membawa begitu banyak udara hangat nan lembab. Keadaan ini makin parah karena sejak pekan lalu, dataran es Antartika tengah diselimuti awan. Akhirnya udara panas banyak terperangkap di permukaan.

Arktik juga mengalami fenomena yang hampir sama. Aliran udara hangat mengalir dari Svalbard, kepulauan di sebelah utara Norwegia. Di sebelah barat, awan tebal juga menyebabkan hujan deras di Greenland.

Analisis mendalam serangan panas ini dan dampaknya kepada satwa liar di kedua kutub dapat dibaca lebih lanjut dalam artikel ini.

Harga minyak sawit naik, tapi deforestasi menurun

Harga minyak sawit (crude palm oil) sejak akhir tahun lalu masih perkasa. Banyak produsen yang lebih memilih menjualnya ke luar negeri dibanding di Indonesia lantas mengakibatkan kelangkaan minyak goreng – diikuti naiknya harga komoditas tersebut.

Namun ternyata, tren kenaikan ini tidak berbanding lurus dengan pembabatan hutan untuk kebun sawit. Data dari anggota Palm Oil Task Fore International Union for Conservation of Nature (IUCN), David Gaveau, justru menampilkan angka deforestasi akibat sawit di Indonesia dan Malaysia berada di titik terendah selama 20 tahun terakhir. Angka konversi hutan alamnya hanya sebesar 22 ribu ha di Indonesia dan 6.600 ha di Malaysia pada 2021.

Meski begitu, Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk membenahi tata kelola perkebunan kelapa sawit. Misalnya, belum ada aksi konkret pemerintah untuk membenahi tumpang tindih kebun sawit dengan kawasan hutan – bahkan hutan lindung.

Bagaimana mengurai limbah energi terbarukan?

Pengembangan energi terbarukan melalui pembangunan lebih banyak panel surya dan kincir angin memang menjadi andalan banyak negara untuk hijrah dari energi fossil. Masalahnya, fasilitas energi bersih itu masih memakai bahan baku yang ditambang dari dalam bumi, seperti kobalt, nikel, lithium, ataupun mineral tanah jarang.

Penambangan komoditas itu pun tak sepi dari kontroversi lantaran persoalan lingkungan yang ditimbulkannya. Di sisi hilir, sampah karena penggunaan PLTS, ataupun barang lainnya yang menggunakan bahan tambang belum terurai secara maksimal.

Untungnya, inovasi teknologi memunculkan harapan untuk mengurangi risiko ini. Misalnya, terobosan teknologi bioleaching untuk mengekstrasi logam dari mineral dengan bantuan mikroba yang lebih ramah lingkungan. Lalu tanah yang tercemar limbah tambang juga bisa dipulihkan dengan tanaman tertentu.

Kendati demikian, sejumlah pakar masih mengutamakan pendekatan sirkular, yakni penggunaan sumber daya yang telah ada dibanding menambah pengerukan baru. Harapannya beban penambangan di suatu kawasan juga bisa berkurang.

Sekilas riset: ikatan masyarakat mempengaruhi aksi-aksi lingkungan

Riset terbaru yang terbit di jurnal Heliyon memaparkan ikatan masyarakat dalam suatu kelompok cukup mempengaruhi aksi pelestarian lingkungan. Pasalnya, secara kolektif, masyarakat mengikat dirinya dalam norma-norma yang dapat diarahkan untuk tujuan-tujuan yang berkelanjutan. Studi juga memperkuat teori bahwa nilai-nilai femininitas berimplikasi positif terhadap tindakan yang berorientasi pada lingkungan.

Science Leadership Collaborative: Call for applicants

The Conversation Indonesia membuka pendaftaran bagi peneliti muda Indonesia untuk bergabung dalam program Science Leadership Collaborative (SLC). Melalui program ini, para peneliti yang menjadi peserta akan merasakan apa yang disebut sebagai kepemimpinan transformasional: mereka akan belajar untuk berinovasi, memengaruhi bidang dan komunitasnya, serta memobilisasi sumber daya dan berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk mengatasi berbagai permasalahan kompleks yang kita hadapi.

Cari tahu lebih lanjut tentang program SLC di laman ini.

-

Nantikan hasil kurasi isu-isu lainnya oleh editor The Conversation Indonesia yang dikirim langsung ke surelmu setiap hari.

Salam lestari!

Robby Irfany Maqoma

Editor Lingkungan

Lingkungan