Halo, semua! Semoga selalu dalam keadaan sehat.

Selamat datang kembali ke Sepekan Lingkungan. Kali ini, saya menyuguhkan hasil kurasi kabar-kabar terbaru seputar pelaksanaan COP26 di Glasgow.

Hal yang luput dalam pidato COP26 Jokowi

Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato tentang komitmen Indonesia memangkas emisi dalam konferensi iklim Perserikatan Bangsa Bangsa (COP26) di Glasgow, Skotlandia, Senin lalu. Jokowi mengklaim Indonesia berhasil mengurangi angka kebakaran hingga 82%, hingga menurunkan laju deforestasi ke titik terendah sejak 20 tahun silan. Pemerintah juga berkomitmen menggenjot pengembangan energi terbarukan, serta mendorong kemitraan global – salah satunya melalui perdagangan karbon.

Namun, dalam pidatonya, Jokowi tak sekalipun menyinggung rencana pemerintah untuk mengurangi penyedotan minyak dan gas bumi maupun pengerukan batu bara. Padahal, sektor bahan bakar fosil tersebut menjadi salah satu penyumbang emisi terbesar di tanah air, trennya bahkan terus meningkat. Dokumen komitmen iklim pemerintah yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution juga tak menyinggung rencana pemangkasan produksi bahan bakar fosil.

Jokowi juga tidak menguraikan laju deforestasi per wilayah di Indonesia. Di Papua, misalnya, deforestasi justru meningkat tiga kali lipat dari periode 2000-2009 (64,3 ribu hektare per tahun) ke 2013-2017 (184 ribu hektare per tahun).

Selain persoalan tersebut, pidato Jokowi juga absen menyinggung hak-hak warga yang menjadi korban akibat iklim yang berubah, misalnya pemukim kawasan pesisir ataupun masyarakat adat.

Dunia kian solid menumpas deforestasi

Sehari setelah pembukaan COP26, sekitar 105 negara sudah lebih dulu menyepakati komitmen untuk menghentikan laju deforestasi global pada 2030. Kesepakatan ini digagas tiga raja hutan dunia yaitu Indonesia, Brazil, dan Kongo yang berkongsi pada sepekan sebelum konferensi dihelat.

Bersamaan dengan itu, sebanyak 12 negara juga menyepakati komitmen pendanaan hutan global sebesar US$ 12 miliar (Rp 171 triliun) selama empat tahun mendatang. Ada juga komitmen pendanaan senilai US$ 1,7 miliar (US$ 24,2 triliun) untuk menyokong masyarakat adat menjaga kelestarian hutan dari 14 negara.

Komitmen ini mesti diawasi ketat mengingat dokumen deklarasi lintas negara tersebut tak mengikat secara hukum.

Babak baru perdagangan karbon swasta

Presiden Joko Widodo akhirnya meneken Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon. Aturan ini menjadi terobosan kebijakan yang membolehkan perniagaan karbon oleh sektor swasta.

Berdasarkan draf perpres per November 2020, perdagangan karbon dapat dilakukan di dalam maupun luar negeri melalui bursa karbon maupun perdagangan langsung.

Perdagangan karbon oleh swasta diatur melalui skema cap and trade. Dalam skema ini, swasta berhak memperoleh pembayaran dari pemerintah ataupun pihak lainnya atas usahanya menjaga karbon agar tak terlepas ke atmosfer.

Sedangkan bagi pemerintah, pendanaan karbon dapat diperoleh melalui skema pembayaran berbasis kinerja meredam emisi (result based payment) ataupun melalui program Reduksi Emisi melalui Pengurangan Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation atau REDD). Opsi lainnya adalah melalui pungutan melalui sistem pajak karbon yang diatur dalam Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Kendati begitu, perluasan proyek penangkap karbon dikhawatirkan mencederai hak-hak masyarakat adat. Pasalnya, suatu korporasi bisa merasa leluasa merusak lingkungan di suatu lingkungan yang didiami kaum adat lantaran menganggap sudah membayar proyek penangkapan karbon di tempat lainnya. Proyek ini pun dilakukan oleh pihak yang sengaja mencari untung dari peluang perdagangan karbon tersebut, atau kerap disebut ‘koboi karbon’.

Kerentanan ini kian bertambah karena aturan safeguard pengelolaan dampak lingkungan dalam UU Cipta Kerja masih amat lemah.

Sampai jumpa pada nawala berikutnya.

Salam lestari!

Robby Irfany Maqoma

Editor Lingkungan

Lingkungan