The Conversation

“Ganti pemerintah, ganti kurikulum.” Meski terdengar sarkas, kalimat ini sebenarnya mengindikasikan rasa frustasi masyarakat atas kebijakan fundamental pendidikan pemerintah yang terlalu sering diotak-atik. Terbaru, pemerintah menyebut bahwa pelajaran AI akan masuk kurikulum sekolah mulai tahun ajaran baru nanti.

Sekilas, program tersebut tampak sebagai upaya yang wajar dalam merangkul zaman. Apa yang salah dari belajar teknologi? Toh, iklan kelas-kelas koding dan AI untuk anak juga sudah kerap berseliweran di media sosial dan memang relevan dengan kebutuhan era saat ini.

Namun, analisis dari para ahli menunjukkan bahwa memasukkan kurikulum AI ke sekolah adalah langkah yang terburu-buru. Pembelajaran AI membutuhkan konteks, persiapan, dan proses yang bertahap. Sementara, data menunjukkan bahwa 8.522 sekolah di Indonesia belum tersambung jaringan listrik alih-alih jaringan internet.

Para tenaga pengajar juga perlu pembekalan kompetensi mengenai AI dan koding terlebih dahulu. Tanpa pemahaman yang komprehensif, penerapan kurikulum AI berisiko terjebak dalam pembelajaran yang cetek atau bahkan menyesatkan.

Gerak cepat memang perlu, tapi fenomena AI tidak bisa didekati secara instan. Sebab, materi AI membutuhkan pendekatan yang berkelanjutan, berbasis pengalaman, dan sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak. Hal itulah yang dilakukan Cina, Singapura, dan Korea Selatan sehingga bisa melahirkan banyak tech talent handal.

Tanpa kehati-hatian semacam ini, pendidikan di sekolah hanya akan menjadi satu dari sekian banyak hal yang kita korbankan demi istilah ‘perubahan zaman’.

Yours in solidarity,

Hayu Rahmitasari

Education & Culture Editor

khunkornStudio/shutterstock.

Benarkah anak-anak butuh mata pelajaran koding dan AI di sekolah?

Arkhadi Pustaka, Sampoerna University

Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) Republik Indonesia merilis Naskah Akademik Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial (KKA). Pemerintah beralasan, mata pelajaran ini penting untuk meningkatkan daya saing sumber daya manusia (SDM) Indonesia di kancah global.

Namun, keputusan Kemendikdasmen ini adalah kebijakan yang elitis, memprioritaskan pemilik modal, dan tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat umum.

Chay_Tee/shutterstock.

Belajar koding dan AI tidak bisa terlalu dini: Perlu pendekatan bertahap dan kontekstual

Arif Perdana, Monash University

Gambaran siswa SD yang sudah bisa menggunakan Python, atau membuat kecerdasan artifisial (AI), tentu menarik bagi para orang tua yang ingin anaknya ‘melek digital’ sejak dini. Mulai tahun ajaran 2025-2026, pemerintah bahkan berencana akan menerapkan pelajaran pelajaran AI di SD, SMP, dan SMA.

Namun, model yang menjanjikan kemampuan koding dalam hitungan hari berisiko menciptakan pemahaman yang dangkal. Selain itu, penerapan kurikulum AI hampir pasti akan menghadapi sejumlah tantangan.

joe satriaji/shutterstock.

2 tantangan menggunakan AI untuk pendidikan inklusif di Indonesia

Meicky Shoreamanis, Universitas Pelita Harapan

Perkembangan kecerdasan buatan (AI) berpotensi besar menciptakan pengalaman belajar yang lebih adaptif bagi siswa dengan disabilitas. AI dapat memberikan personalisasi pembelajaran berbasis data, yang memungkinkan materi ajar disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan individu.

Namun, aksesibilitas di wilayah terpencil serta rendahnya literasi digital di kalangan tenaga pendidik menjadi salah satu tantangan utama dalam pemanfaatan AI untuk pendidikan inklusif di Indonesia.

Pendidikan + Budaya

Isu Anak Muda

Lingkungan

Kesehatan

Politik + Masyarakat

Ekonomi