Salam jumpa kembali di Catatan Mingguan, sebuah catatan perkembangan sosial dan politik dari redaksi The Conversation Indonesia (TCID) sepekan terakhir.

Terima kasih sudah berlangganan newsletter ini. Sambil terus memperbaiki kualitas newsletter, kami masih membuka survei singkat dan meminta bantuan Anda untuk mengisi di sini: link.

Berikut hal-hal penting yang kami catat dari pekan lalu.

Tiga menteri mengeluarkan keputusan bersama yang melarang pemerintah daerah dan sekolah negeri mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.

Sebelumnya beberapa dugaan kasus intoleransi di sekolah telah mencuat; yang paling baru terjadi di sebuah sekolah menengah kejuruan di Padang, Sumatra Barat, yang mewajibkan siswi memakai jilbab, termasuk siswi yang bukan beragama Islam.

Larangan tersebut dikeluarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Agama Yaqut Choulil Qoumas lewat sebuah Surat Keputusan Bersama (SKB)

Namun, SKB ini bukan berarti masalah diskriminasi di sekolah selesai. TCID minggu lalu menurunkan sebuah artikel bagaimana diskriminasi di sekolah masih bisa terjadi lewat peraturan-peraturan daerah yang bernuansa agama. Misalnya peraturan yang mewajibkan kemampuan membaca kitab suci agama tertentu bagi murid.

Dalam perkembangan lain, Economist Intelligence Unit (EIU), divisi riset dari kelompok media Inggris Economist Group, menempatkan Indonesia dalam posisi stagnan, yaitu peringkat ke-64 dari 167 negara di Indeks Demokrasi tahunan.

Indonesia masih masuk kategori Flawed Democracy (demokrasi tidak sempurna). Status ini artinya Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum yang relatif bebas dan adil dan menghormati kebebasan sipil dasar, namun memiliki beberapa persoalan seperti pelanggaran kebebasan media serta persoalan tata kelola pemerintahan.

Dalam indeks tersebut, skor demokrasi Indonesia turun menjadi 6,30 pada 2020 dari skor 6,48 di 2019, dan 6,39 di 2017 dan 2018.

Minggu lalu, kami menerbitkan beberapa artikel baru dalam isu politik dan masyarakat.

Satu artikel membahas bagaimana orang-orang dari kelompok marginal yang berusaha keluar dari kemiskinan harus menghadapi risiko meninggalkan keluarga, mengalami konflik budaya, dan masalah kesehatan mental.

Satu artikel lain mengulas bagaimana keputusan Twitter untuk membuka akses data pada peneliti menegaskan kembali pentingnya platfrom media sosial untuk membuka data bagi penelitian sosial, terutama di Indonesia.

Demikian catatan kami pekan ini. Pekan depan kita jumpa kembali.

Tetap jaga kesehatan dan kewarasan.

Andre Arditya

Editor Politik + Masyarakat

Politik + Masyarakat