The Conversation

Halo, semua! Semoga selalu dalam keadaan sehat.

Kembali lagi dalam Nawala TCID. Hari ini, saya Robby Irfany Maqoma – Editor Lingkungan The Conversation Indonesia, akan berbagi sorotan kabar terkait isu lingkungan di Indonesia dan mancanegara.

Cobalah tempe tanpa kedelai yang ramah lingkungan

Kenaikan harga kedelai di tingkat global yang terjadi kesekian kalinya membuat produsen tahu dan tempe mengibarkan bendera putih. Mereka mogok produksi, menanti intervensi pemerintah meredam laju kenaikan harga kedelai – yang sebagian besarnya diperoleh via jalur impor.

Ketergantungan Indonesia pada kedelai impor sebenarnya dapat diatasi melalui pembuatan tempe dari sumber nonkedelai: kunyit, kencur, kayumanis, hingga kelor seperti yang digagas oleh pegiat pangan lokal Agustinus Priyanto. Ia menamakan terobosannya sebagai tempe herbal.

Selain diversifikasi sumber tempe, Agus mengatakan penggunaan tempe herbal juga lebih ramah lingkungan karena dibuat dengan air dan energi yang lebih sedikit. Nutrisi tempe – jika dibuat dengan metode yang lebih sederhana – bisa lebih terjaga.

Selain sumber alternatif tersebut, Agus sebenarnya masih menggunakan kedelai sebagai bahan baku tempe. Namun kedelai mesti diperoleh dari dalam negeri dan ditanam secara organik.

Agar gajah tak terganggu jalan tol

Pekan lalu, seekor gajah bernama Condet dilaporkan melintasi jalan tol Pekanbaru-Dumai KM 72. Menurut Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau, Condet merubuhkan sebagian pagar pembatas jalan. Untungnya dia tak tertabrak kendaraan yang melintas.

Agar kejadian ini tak berulang, BKSDA Riau menyiapkan tanaman pakan gajah di luar pagar pengaman. Di sepanjang ruas jalan tol, operator akan menanam tanaman yang tak disukai gajah.

BKSDA pun menyatakan akan mengevaluasi efektivitas koridor satwa di tol Pekanbaru-Dumai. Saat ini, ada lima koridor satwa di ruas tol tersebut. Tapi kala hujan, jalur itu bisa terendam air sehingga menghambat aktivitas gajah yang berkeliaran di sekitar jalan tol.

Teknologi penangkapan karbon salah arah

Teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage atau CCS) semestinya menjadi solusi untuk meredam emisi dari sektor industri berat seperti persenjataan, alat berat, dan sebagainya. Sebab, industri ini membutuhkan energi yang sangat besar, sehingga belum bisa mendapatkan pasokan energi yang cukup dari sumber terbarukan.

Nyatanya, sebagian besar proyek CCS yang tercatat di dunia bukan dilakukan untuk industri tersebut, melainkan untuk melanggengkan pengerukan bahan bakar fossil.

Di Indonesia pun sama. Inisiasi teknologi CCS dilakukan oleh sektor minyak dan gas bumi.

Padahal, proyek CCS ditaksir memiliki lebih banyak risiko ketimbang manfaat. Misalnya kebutuhan energi maha besar, harga yang sangat mahal, dan pelepasan emisi yang jauh lebih parah.

Sekilas riset: agroforestri kopi merawat keberagaman jenis burung

Riset terbaru menyatakan bahwa pertanian kopi dapat menjaga kelestarian dan keberagaman spesies burung, selama ditanam bersama jenis tanaman lainnya. Penelitian ini mengamati aktivitas burung dan membandingkannya di 21 kebun kopi monokultur (sejenis) maupun polikultur di pulau Jawa.

Studi terbit di jurnal Conservation Biology and Biodiversity pada pekan lalu.

Science Leadership Collaborative: Call for applicants

The Conversation Indonesia membuka pendaftaran bagi peneliti muda Indonesia untuk bergabung dalam program Science Leadership Collaborative (SLC). Melalui program ini, para peneliti yang menjadi peserta akan merasakan apa yang disebut sebagai kepemimpinan transformasional: mereka akan belajar untuk berinovasi, mempengaruhi bidang riset dan komunitasnya, serta memobilisasi sumber daya dan berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk mengatasi berbagai permasalahan kompleks yang kita hadapi.

Cari tahu lebih lanjut tentang program SLC di laman ini.

-

Nantikan hasil kurasi isu-isu lainnya oleh editor The Conversation Indonesia yang dikirim langsung ke surelmu setiap hari.

Salam lestari!

Robby Irfany Maqoma

Editor Lingkungan

Lingkungan