|
|
Dear sobat TCID,
Orang bilang,“ time may heal, time may reveal”: “waktu akan menyembuhkan, dan waktu akan membuktikan.” Namun, kalimat ini tampaknya tak berlaku untuk konflik yang terjadi di Gaza antara Israel-Palestina.
Setahun yang lalu, Hamas melancarkan serangan ke Israel selatan, membantai sekitar 1.200 orang, sebagian besar warga sipil, dan menculik 240 orang lainnya. Sejak hari itu, Israel membalas dengan tak kalah sengit. Lebih dari 40.000 warga Palestina tewas, sebagian besar warga sipil, dan lebih banyak lagi yang terluka. Bahkan, hampir dua juta orang telah mengungsi di wilayah pesisir tersebut, menandai mulainya era baru pengungsian massal di Timur Tengah.
Di luar area tersebut, agresi ini telah mendorong lahirnya aksi-aksi solidaritas. Mulai dari aksi di kampus dan jalanan hingga boikot produk yang berafiliasi dengan Israel seperti McDonald’s dan Starbucks. Tak tanggung-tanggung, banyak perusahaan mengalami kerugian bahkan tutup karena adanya aksi boikot ini.
Indonesia sudah secara aktif mendukung dan mengakui kemerdekaan negara Palestina sejak 1947. Indonesia juga berperan dalam upaya diplomasi internasional untuk mencapai solusi dua negara (two-state solution) dalam konflik Israel-Palestina. Selain karena kedekatan identitas agama, aksi solidaritas juga banyak digerakkan oleh motivasi kemanusiaan dan kewajiban moral.
Tapi semua itu belum cukup. Setelah satu tahun dan dengan banyaknya korban jiwa yang sudah berjatuhan pun, perang di Gaza belum berakhir. Alih-alih berhasil membela negara Palestina, misinformasi dan disinformasi telah meningkatkan perpecahan dan polarisasi antara kelompok “pro-Israel” dan “pro-Palestina” di seluruh dunia.
Dalam edisi kali ini, Nawala TCID merangkum artikel-artikel tentang konflik Israel-Palestina yang ditulis oleh para penulis kami dalam satu tahun terakhir. Harapannya, tulisan-tulisan ini dapat mendorong upaya kolaboratif yang lebih tulus dari negara-negara “kunci” di komunitas internasional, dan mengganti kecaman kosong yang telah berkumandang selama bertahun-tahun dengan komitmen yang lebih bermakna dan berkelanjutan.
Salam.
|
|
Hayu Rahmitasari
Education & Culture Editor
|
|
Aksi solidaritas untuk kemerdekaan Palestina di Bengkulu.
Muhammad Izfaldi/Antara Foto
Ayu Anastasya Rachman, Universitas Bina Mandiri Gorontalo
Dukungan Indonesia terhadap Palestina ditunjukkan dengan tidak hanya menutup hubungan bilateral secara formal dengan Israel, tetapi juga melalui keputusan-keputusan teknis lainnya, seperti menolak kedatangan tim sepakbola nasional Israel dalam ajang Piala Dunia U-20 2023–meski imbasnya Indonesia batal menjadi tuan rumah ajang internasional tersebut.
Indonesia tentunya memiliki kepentingan dalam pembebasan Palestina, misalnya solidaritas sebagai negara bekas jajahan. Namun, ada paradoks dalam hubungan Indonesia dengan Israel. Indonesia pun “diam-diam” tetap menjalin hubungan dengan Israel, kerja sama yang cukup menguntungkan bagi kedua negara. Lalu, apakah Indonesia harus terus-terusan “menutup diri” dari Israel?
|
Atef Safadi/EPA
Eyal Mayroz, University of Sydney
Keganasan pengeboman udara oleh Pasukan Pertahanan Israel–yang dilanjutkan dengan invasi darat ke Gaza–memicu tekanan global yang kuat untuk menghentikan kekerasan tersebut. Ditambah lagi dengan rangkaian kampanye di seluruh dunia untuk mengakhiri pendudukan ilegal Israel yang telah berlangsung puluhan tahun di wilayah Palestina.
Setahun kemudian, kekhawatiran terhadap rakyat Gaza—dan puluhan sandera Israel yang masih terkunci di terowongan Hamas—mulai memudar. Fokus dunia beralih ke kesengsaraan yang meluas dengan cepat di sepanjang perbatasan Israel-Lebanon, dan ke potensi terjadinya perang skala penuh antara Israel dan Iran.
Saat pertempuran di Gaza terus berlanjut tanpa tanda-tanda akan berakhir, harapan untuk menyelesaikan konflik paling pelik di dunia antara orang Yahudi-Israel dan Palestina tampak semakin redup. Benarkah demikian?
|
Aksi akbar bela Palestina di Monas, Jakarta.
Rifqi Raihan Firdaus/Antara Foto
Joevarian Hudiyana, Universitas Indonesia
Sebelum agresi kali ini, masih banyak masyarakat yang berpikir bahwa membela Palestina berlandaskan pada kesamaan identitas agama, yaitu Islam. Ini karena dalam hampir setiap aksi, persoalan identitas seringkali diyakini sebagai aspek utama yang mengobarkan semangat beraksi.
Faktanya, aksi bela Palestina di Indonesia ini tidak hanya melibatkan umat Islam dan organisasi Muslim, tetapi juga berbagai organisasi dan masyarakat lintas agama. Aksi serupa juga terjadi di berbagai negara yang mayoritasnya non-Muslim. Mengapa begitu?
|
Politik + Masyarakat
|
-
Nicholas R. Micinski, University of Maine; Kelsey Norman, Rice University
-
Antoni Putra, Universitas Andalas
-
Sry Lestari Samosir, S.Pd., M.Sos, Universitas Negeri Medan
-
Muammar Syarif, The Conversation
|
|
Pendidikan + Budaya
|
-
Dini Dwi Kusumaningrum, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Fikri Muslim, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Norman Luther Aruan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
-
Gigih Saputra, Sekolah TInggi Ilmu Administrasi dan Manajemen Kepelabuhan (STIAMAK) Barunawati Surabaya
-
Ronald Eberhard Tundang, Chinese University of Hong Kong
-
Jen Harvie, Queen Mary University of London
-
Kelvin Tang, University of Tokyo
|
|
Ekonomi
|
-
Andrew Hughes, Australian National University
-
Pankhuri Malhotra, University of Oklahoma
|
|
Sains + Teknologi
|
-
Shannon Sauer-Zavala, University of Kentucky
-
Ahmad Amiruddin, Monash University
-
Arif Perdana, Monash University
|
|
Lingkungan
|
-
Budiman Minasny, University of Sydney; Wirastuti Widyatmanti, Universitas Gadjah Mada
-
Yesaya Sandang, Universitas Kristen Satya Wacana; Bagas Yusuf Kausan, Universitas Gadjah Mada ; Bosman Batubara, Utrecht University; Eka Handriana, Universitas Gadjah Mada
|
|
Kesehatan
|
-
Dan Denis, University of York
-
Arif Nur Muhammad Ansori, Universitas Airlangga
-
Iskandar Azmy Harahap, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|