Halo! Selamat datang kembali di nawala ini bersama saya, Fidelis, editor lingkungan hidup. Semoga dalam keadaan sehat-sehat saja.

Kita mulai nawala ini dengan penelitian terbaru dari peneliti AS yang baru saja meluncurkan hasil studi terkait dengan dampak perubahan iklim terhadap sabuk hujan tropis (tropical rain belt), suatu kawasan di kawasan ekuator yang memiliki curah hujan tinggi.

Meski perubahan ini tidak akan merata dirasakan di penjuru Bumi, namun berpotensi mengancam keanekaragaman hayati dan ketahanan pangan dunia.

Studi ini menyebutkan bahwa perubahan sabuk ini ke arah utara, Afrika bagian timur dan Samudra India, akan menimbulkan lebih banyak musim kering berkepanjangan di Afrika bagian tenggara dan Madagaskar, banjir lebih intens di selatan India. Sementara, ke arah selatan, Samudra Pasifik bagian timur dan Samudra Atlantik akan menimbulkan kekeringan luar biasa di Amerika Tengah.

Para peneliti menyatakan bahwa mereka sedang berupaya menerjemahkan dampak-dampak ini di lapangan, terutama terkait dengan potensi banjir, kekeringan, infrastruktur, dan perubahan ekosistem, ke dalam panduan kebijakan dan tata kelola adaptasi.

Kabar baik dari Antarktika, penelitian terbaru dari BirdLife International, Universitas East Anglia dan British Antarctic Survey menekankan bahwa penetapan Kawasan Konservasi Laut (KKL) bisa melindungi daerah berkembang biak penguin Antarktika.

Lautan Selatan merupakan rumah bagi ribuan spesies unik, termasuk 4 spesies penguin, Adélie, Chinstrap, Gentoo and Emperor. Penguin sering dianggap sebagai spesies indikator yang menggambarkan kondisi lingkungan lautan, sehingga penting untuk menjaga habitat mereka dari ancaman, seperti polusi, penangkapan berlebihan, hingga perubahan iklim.

Dari Indonesia, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan akan mengembangkan 10 Kawasan Konservasi Perairan Nasional atau KKPN sebagai destinasi wisata bahari, seperti Taman Wisata Perairan di Pulau Gili Ayer, Gili Meno dan Gili Trawangan, hingga Taman Wisata Perairan Suaka Alam Perairan Raja Ampat.

KKP akan menyusun panduan tersendiri bagi destinasi wisata ini, termasuk pedoman kesehatan selama pandemi.

Beberapa atraksi yang akan ditawarkan, antara lain berenang bersama hiu paus, wisata kapal tenggelam, dan pembangunan coral garden untuk mempercantik bawah laut sekaligus rehabilitasi ekosistem.

Beralih ke Kalimantan Selatan, Kementerian Lingkungan dan Kehutanan (KLHK) membantah perubahan luasan kawasan hutan menjadi penyebab dari banjir di hampir seluruh kabupaten di propinsi tersebut. Penyebab utama adalah anomali cuaca ekstrem, yaitu curah hujan tinggi selama 5 hari berturut-turut.

KLHK menyatakan bahwa kondisi ini pernah terjadi pada tahun 1928 dan menyebut banjir kali ini sebagai periode ulang atau re-current period.

Demikian cuplikan artikel dari Indonesia dan mancanegara selama sepekan kemarin.

Jangan lupa cek juga artikel dari peneliti ICEL, Debby Thalita Nabila Putri, yang menyebutkan PR masih ada bagi pemerintah DKI untuk kurangi polusi udara, riset terbaru dari LIPI, Universitas Terbuka dan IPB, terkait dengan sampah APD, hasil wawancara saya dengan para peneliti mangrove terkait pembentukan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, serta serial Oceans 21 terkait dengan alat baru untuk memetakan mangrove.

Untuk edisi bahasa Inggris, TC Indonesia juga memuat riset terkait turisme dan masyarakat adat di Pulau Samosir, Sumatra Utara.

Terakhir, untuk meningkatkan kualitas dari nawala ini dan menerima masukan-masukan dari pembaca, mohon bisa mengisi kuesioner pada link di sini. Selamat mengisi!

Sekian “Sepekan Lingkungan” edisi kali ini. Sampai jumpa lagi pada edisi berikutnya.

Salam!

Fidelis Eka Satriastanti

Editor Lingkungan Hidup

Lingkungan Hidup

Sains + Teknologi

In English