The Conversation

Halo, pembaca! Semoga selalu dalam keadaan sehat.

Kembali lagi dalam Nawala TCID. Hari ini, saya Robby Irfany Maqoma – Editor Lingkungan The Conversation Indonesia, akan berbagi sorotan kabar serta analisis teranyar seputar isu lingkungan di Indonesia dan mancanegara.

Sebelumnya, bantu kami kenali karakter pembaca The Conversation di Indonesia

Pembaca, The Conversation sudah terbit dengan berbagai edisi di sejumlah negara. Kami bermitra dengan para akademikus dan lembaga penelitian untuk memperluas hasil penelitian dan analisis kredibel seputar isu-isu terkini.

Kami meminta waktunya untuk mengisi survei pembaca The Conversation Indonesia. Dengan mengetahui demografi pembaca terkini, kami harap bisa lebih meningkatkan kualitas artikel-artikel yang ada di The Conversation Indonesia sehingga dapat dikonsumsi serta berdampak bagi kalangan yang lebih luas lagi.

Survei dapat diisi (maupun disebarluaskan) di tautan ini.

Terima kasih!

Empat progres dari COP27 untuk pelestarian bumi

Konferensi iklim PBB ke-27 (COP27) di kawasan pariwisata Sharm el-Sheikh, Mesir, yang dimulai Ahad pekan lalu akan berakhir pada Jumat mendatang.

Perundingan ini memang kerap berakhir alot untuk sejumlah isu selama bertahun-tahun. Namun, menurut pakar hubungan internasional dari Tufts University Amerika Serikat, Rachel Kyte, COP27 setidaknya membawa empat pertanda kemajuan dalam hal pendanaan untuk memangkas emisi dan pembangunan berkelanjutan.

Salah satu kemajuan yang dicatat Rachel adalah seputar aturan perdagangan karbon. Dalam COP27, isu untuk memperketat akuntabilitas perdagangan karbon oleh perusahaan ataupun institusi nirlaba mulai menguat. Rachel memprediksi pembahasan COP27 akan menghasilkan aturan baru seputar prinsip integritas perdagangan karbon, berikut kode etik bagi pelaku pasarnya pada tahun depan.

Ulasan lengkap seputar empat progres dalam COP27 dapat diakses di artikel ini.

Ironi COP27 disesaki korporasi migas

COP semestinya menjadi ajang perwakilan negara-negara untuk merancang aksi pengurangan emisi gas rumah kaca secara serius – salah satunya dengan memangkas habis-habisan proyek energi fosil dari batu bara ataupun minyak dan gas bumi.

Ironisnya, COP27 tahun ini justru disesaki sekitar 600 pelobi utusan industri energi fosil. Pakar perkotaan University of London, Bobby Banerjee, yang mendatangi acara tersebut mendapati jumlah pelobi jauh lebih banyak dibandingkan delegasi 10 negara paling terdampak perubahan iklim – yang semestinya mendapatkan lebih banyak perhatian.

Mereka bahkan menyusup dalam perwakilan negara, seperti Mauritania yang mengutus pihak British Petroleum sebagai utusan resmi. Ada pula penambang besar seperti Shell dari Belanda, Rio Tinto dari Australia, yg mencaplok paviliun dari organisasi masyarakat sipil.

Bobby menduga situasi seperti inilah yang membuat 27 tahun COP minim kemajuan berarti.

Ironi lainnya dalam COP27 versi Bobby dapat disimak di tautan ini.

Dua bumerang target emisi Indonesia: biodiesel dan co-firing PLTU

Dalam COP27, Indonesia memamerkan target pengurangan emisi terbaru yang lebih ambisius, salah satunya melalui sektor energi.

Pemenuhan target sektor energi akan disokong oleh beberapa program. Dua di antaranya adalah program pemanfaatan bahan bakar nabati hingga 40% (B40) dari saat ini 30% (B30) untuk campuran bahan bakar solar atau biodiesel, dan pemakaian biomassa (bahan bakar dari material tumbuhan seperti kayu) maupun sampah untuk menyalakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) – dikenal sebagai program co-firing.

Sekilas, dua program ini seperti terlihat ‘hijau’ lantaran memakai sumber daya terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi di tanah air. Padahal, jika dilihat lebih dalam, program biodiesel dan co-firing PLTU justru berisiko merusak langkah Indonesia memangkas emisi gas rumah kaca.

Bagaimana dua program tersebut menjadi bumerang bagi target iklim Indonesia? Baca ulasan yang ditulis dua peneliti dari Traction Energy Asia, Ramada Febrian dan Refina Sundari di laman ini.

Nantikan hasil kurasi isu-isu lainnya oleh editor The Conversation Indonesia yang dikirim langsung ke surelmu setiap hari.

Salam lestari!

Robby Irfany Maqoma

Editor Lingkungan

Flags of G20 members in Bali, Indonesia. Aditya Pradana Putra/Antara Foto

At the most challenging G20 in history, can Indonesia run a successful summit?

Ratri Istania, Politeknik STIA LAN Jakarta; Shanti Darmastuti, UPN Veteran Jakarta

This year’s G20 faces more difficult challenges than ever before.

Lingkungan

Pendidikan + Anak Muda

Kesehatan

Bisnis + Ekonomi