The Conversation

Halo, semua! Semoga selalu dalam keadaan sehat.

Kembali lagi dalam Nawala TCID. Hari ini, saya Robby Irfany Maqoma – Editor Lingkungan The Conversation Indonesia, akan berbagi sorotan kabar terkait isu lingkungan di Indonesia dan mancanegara.

Mengapa Earth Hour tidak efektif?

Setiap tahun sejak lebih 1,5 dekade lalu, lembaga advokasi isu lingkungan Worldwide Fund for Nature (WWF) menghelat Earth Hour, ajakan untuk mematikan listrik selama 60 menit pada sabtu terakhir di bulan Maret. WWF menyatakan Earth Hour telah berkontribusi dalam upaya mitigasi perubahan iklim di berbagai negara.

Namun, analisis terbaru dari dosen Universitas Islam Indonesia, Masitoh Nur Rohma, justru menyatakan kampanye ini belum efektif untuk memenuhi ajakan mendesak untuk pengurangan emisi secara signifikan. Pasalnya, Earth Hour belum secara sistematis mengajak kaum superkaya yang memiliki jejak emisi besar karena faktor gaya hidup.

Gerakan ini juga belum menyasar pembuat kebijakan untuk membuat strategi efektif pemangkasan emisi di suatu negara ataupun kawasan.

Simak ulasan Masitoh yang edisi spesial hari bumi selengkapnya di sini.

Anomali berbahaya produksi batu bara

Riset terbaru dari Australian National University memaparkan, kebijakan pengurangan emisi karbon atau dekarbonisasi Cina akan berdampak pada penurunan kebutuhan energi fossil global. Terkhusus batu bara, pada 3 tahun mendatang, permintaan dari negeri panda akan melorot hingga 49 persen.

Temuan ini signifikan mengingat Cina merupakan importir batu bara terbesar di dunia.

Namun, anomali justru terekam dalam laporan organisasi nirlaba Stockholm Environment Institute yang menyatakan pengerukan batu bara akan terus berlanjut di negara-negara produsen terbesar seperti India, Australia, ataupun Indonesia.

Di tanah air, tren produksi batu bara selama tujuh tahun terakhir justru meningkat dari 461 juta ton pada 2016 hingga 606 juta ton pada 2021. Belum ada kepastian kapan laju produksi emas hitam nasional bakal melambat, mengingat proyek industri yang membutuhkan batu bara seperti pembangkit listrik, semen, hingga pengolahan terus melaju bak tanpa rem.

Ulasan dari peneliti Indonesian Center for Environmental Law, Hida Lazuardi, turut menelaah persoalan ketergantungan Indonesia terhadap batu bara. Uraian selengkapnya dapat diakses di sini.

Tren pesohor jadi nama spesies baru

Pertengahan april lalu, para peneliti dari Virginia Polytechnic Institute and State University menemukan spesies baru kaki seribu di Amerika Utara bagian timur. Kaki seribu bertubuh kecil ini dinamakan Nannaria swiftae – yang diambil dari nama penyanyi kawakan, Taylor Swift.

Temuan tersebut menambah daftar panjang para nama pesohor yang diabadikan menjadi nama spesies baru. Selain Taylor Swift, penyanyi Shakira juga menjadi insipirasi penamaan spesies tawon parasit Aeiodes shakirae, begitu pula wereng berwarna menyala yang dinamai Kaikaia gaga.

Aktor Leonardo Dicaprio masih menjadi juaranya. Ada lima spesies baru yang menggunakan nama Dicaprio sebagai pengenal.

Pemerintah bekukan operasi geotermal Sorik Marapi

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menghentikan aktivitas pengeboran dan pengujian sumur panas bumi oleh PT Sorik Merapi Geothermal di Mandailing Natal, Sumatra Utara. Ini merupakan imbas keracunan massal warga di sekitar area pengeboran pada pekan lalu.

Ini bukan kali pertama. Maret lalu,59 warga juga dilarikan ke rumah sakit karena keracunan gas hidrogen sulfida (H2S).

Tahun lalu, gas H2S juga bocor hingga menyebabkan 44 warga keracunan, lima di antaranya meninggal dunia. Pada 2018 juga tercatat ada dua anak yang meninggal dunia karena terjatuh dalam area bekas sumur pengeboran.

Kecelakaan ini merupakan kejadian berulang Adapun sumur tersebut berlokasi sangat dekat dari Desa Sibanggor Julu, sekitar 300 meter. Perusahaan menyangkal adanya kebocoran lantaran detektor tidak mendeteksi gas H2S tersebut dari sumur.

Podcast: saat lebaran, seberapa bijak kita diet daging?

Seruan global untuk mengurangi konsumsi daging terus bergaung demi meredam laju emisi dari sektor peternakan. Laporan terbaru Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menegaskan korelasi yang kuat antara kenaikan produksi dari sektor peternakan dengan peningkatan emisi gas metana.

Apakah Indonesia harus ikut-ikutan memenuhi seruan tersebut? Dalam episode SuarAkademia kali ini, kami berbincang dengan Rina Agustina, Kepala Human Nutrition Research Center di Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI) Universitas Indonesia untuk mengurai pola makan sehat nan ramah iklim.

Rina juga berbagi bonus tips menu-menu alternatif yang dapat dijadikan pelengkap hidangan warga Indonesia kala berlebaran.

Dengarkan episode selengkapnya di tautan ini.

-

Oh ya, saya bersama editor The Conversation lainnya juga mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri 1443 H, mohon maaf lahir dan batin. Jangan lupa untuk menjaga kebersihan lingkungan, menerapkan pola makan yang ramah iklim, serta mematuhi protokol kesehatan.

 

Nantikan juga hasil kurasi isu-isu lainnya oleh editor The Conversation Indonesia yang dikirim langsung ke surelmu setiap hari.

 

Salam lestari!

Robby Irfany Maqoma

Editor Lingkungan

Lingkungan