Halo, semua! Semoga selalu dalam keadaan sehat.

Selamat datang kembali ke Sepekan Lingkungan, nawala yang menyajikan highlight berita-berita seputar lingkungan mancanegara dan nasional.

Babak penentuan rencana pajak karbon

Pemerintah memasukkan emisi karbon sebagai objek pajak baru dalam Rancangan Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan HPP. Berdasarkan draf RUU HPP, tarif minimum pajak karbon dipatok Rp 30 per kg setara karbon dioksida (kgCo2e) atau setara US$ 2,1 per metrik ton Co2e. Tarif ini jauh lebih rendah dibanding usulan pemerintah semula Rp 75 per kgCo2e.

Keberlakuan pajak baru ini akan ditentukan dalam rapat paripurna DPR untuk pengesahan RUU tersebut pada Kamis, 7 Oktober. Jika DPR setuju, maka emisi karbon dari pembangkit listrik, industri, pengeboran minyak dan gas bumi, hingga kendaraan bermotor akan menjadi subjek pajak baru.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kebijakan pajak karbon dibutuhkan untuk proses transisi energi bersih. Kebutuhan dananya diperkirakan mencapai US$ 5,7 miliar atau setara Rp 81,58 triliun.

Suara-suara sumbang atas rencana kebijakan ini disampaikan perwakilan pengusaha, pengembang pembangkit listrik tenaga uap/PLTU. Pelaku industri minyak dan gas bumi bahkan meminta pengecualian atas kebijakan ini.

Mereka berdalih pajak karbon bisa mengurangi daya saing produk dalam negeri.

 

Rencana kelistrikan terbaru masih sarat energi fosil

Pemerintah mengumumkan pengesahan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PT PLN (Persero), Rabu lalu. Dokumen ini diklaim sebagai perencanaan kelistrikan ‘hijau’ karena menjadwalkan penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan sebesar 51,6% (20,9 gigawatt/GW) pada 2030 mendatang. Sedangkan pada periode yang sama, tambahan kapasitas pembangkit berbasis energi fosil hanya sebesar 48,4% (19,6 GW).

Meski bertambah pesat, sumbangan energi terhadap bauran energi sektor kelistrikan Indonesia masih rendah (sebesar 24,8% pada 2030).

Hal ini disebabkan oleh energi batu bara maupun minyak dan gas bumi lebih dulu mendominasi pembangkitan setrum tanah air. Pada 2021, energi fosil menguasai sebesar 87,1% dari total produksi listrik.

Ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil ini menjadikan produksi listrik sebagai aktivitas penyumbang emisi dominan. Sebesar 29% (273 gigagram Co2 setara karbon/GgCo2e) dari total emisi gas rumah kaca Indonesia dari total emisi sektor energi per 2019.

Pemerintah pun belum berencana memangkas kontribusi energi fossil secara signifikan. Sembilan tahun mendatang, energi batu bara serta minyak dan gas bumi masih menguasai 75,2% dari total bauran energi listrik nasional.

Padahal, studi Institute for Essential Service Reform (IESR) menyatakan pada periode yang sama Indonesia sebenarnya bisa menggunakan listrik energi bersih sebesar 50% pada 2030. Angka ini bisa meningkat sebesar 100% pada 2045, dengan syarat penggunaan energi batu bara dan gas dipangkas besar-besaran.

 

Dua ilmuwan permodelan iklim meraih Nobel Fisika

Akademi Sains Kerajaan Swedia memberikan hadiah Nobel Fisika kepada dua ilmuwan yang dianggap berjasa terhadap pengembangan permodelan iklim.

Keduanya adalah Syukuro Manabe dari Princeton University, Amerika Serikat, dan Klaus Hasselmann dari Max Planck Insitute for Meteorology, Hamburg, Jerman. Mereka dinilai berhasil meletakkan dasar pengetahuan iklim bumi dan aktivitas manusia yang mempengaruhinya.

Manabe telah memimpin pengembangan model-model fisika dari iklim bumi sejak tahun 1960-an. Sepuluh tahun kemudian, Hasselman menciptakan model yang menghubungkan cuaca dan iklim dan mengembangkan metode membuktikan peningkatan suhu di atmosfer karena emisi karbondioksida oleh manusia.

Sedangkan satu ilmuwan lainnya, Giorgio Parisi dari Sapienza University of Rome, Italia, berjasa atas pengembangan konsep interaksi acak dan fluktuasi dalam sistem fisika dari skala atom sampai planet.

Sampai jumpa pada nawala berikutnya.

Salam lestari!

Robby Irfany Maqoma

Editor Lingkungan

Lingkungan