The Conversation

Ramai-ramai masyarakat demo menuntut bubarkan DPR, baik di jalanan maupun di media sosial. Marahnya publik bisa dipahami. Sebab, DPR tak henti membuat “gebrakan” yang bikin geram. Mulai dari fakta bahwa total gaji dan tunjangan mereka sangat fantastis–mencapai Rp230 juta per bulan–di tengah penurunan daya beli masyarakat dan gelombang PHK, hingga ucapan-ucapan mereka yang seakan acuh dan anti-kritik.

Anggaran kesehatan dan pendidikan dipotong besar-besaran, sementara anggota dewan terima tunjangan beras Rp12 juta rupiah setiap bulan. Para pekerja tercekik kenaikan pajak di segala sektor, sedangkan pejabat di DPR mendapat tunjangan untuk membayar pajak sekitar Rp2 juta per bulan. Kaum muda kelas menengah sangat sulit mendapatkan akses kepemilikan rumah akibat kendala finansial, politisi di parlemen menikmati tunjangan rumah senilai Rp50 juta setiap bulannya.

Mungkin, masyarakat tidak bermaksud untuk secara harfiah membubarkan DPR. Menurut pakar, masalah yang terjadi saat ini adalah soal ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyelenggara negara.

Gaji besar untuk anggota dewan barangkali tak akan membuat publik teriak seandainya ada kalkulasi dan alokasi yang jelas dan transparan, seandainya besarnya pajak yang dibayar publik sepadan dengan pelayanan fasilitas umum, dan seandainya korupsi bisa diberantas.

Namun, dengan transparansi nihil, masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap otoritas. Mereka tidak hanya sekadar marah, tetapi juga mulai mempertanyakan seluruh legitimasi sistem. Ketika individu atau kelompok merasa kebebasan mereka dibatasi secara tidak adil, mereka akan mengalami dorongan untuk melawan dan memulihkan kebebasan yang hilang.

Pemerintah sebaiknya tidak meremehkan seni perlawanan seperti ini, melainkan harus melakukan refleksi dan membenahi diri.

Pemerintahan Prabowo Subianto belum genap satu tahun. Masih ada waktu untuk memperbaiki hal-hal yang perlu diperbaiki guna memulihkan kepercayaan publik. Transparansi dan empati harus menjadi prinsip utama dalam komunikasi publik pemerintah.

Panjang umur, perjuangan!

Salam.

Nurul Fitri Ramadhani

Politics + Society Editor

Ilustrasi warga mengepalkan tangan saat berdemonstrasi. Ink Drop/Shutterstock

Komunikasi ‘tone-deaf’ pemerintah: Kritik dianggap ancaman, dialog dibalas candaan

Benyamin Imanuel Silalahi, Universitas Gadjah Mada

Ketika rakyat bicara dengan luka, pemerintah menjawab dengan candaan. Komunikasi tanpa empati ini perlahan meretakkan kepercayaan antara negara dan masyarakat.

Beberapa selebritas yang menjadi bakal calon anggota legislatif (bacaleg) dari Partai Amanat Nasional (PAN). Akun Instagram @bluesquad_ofc

Artis jadi caleg: pemilu kini laksana kontes kecantikan, kualitas demokrasi dipertanyakan

Adrian Azhar Wijanarko, Paramadina University

Banyak partai politik yang memilih cara ‘instan’ untuk meraup suara pemilih, tapi sayangnya tidak memberikan nilai tambah terhadap demokrasi secara keseluruhan.

Aksi tolak pengesahan Revisi UU Pilkada oleh sejumlah mahasiswa lintas perguruan tinggi di kompleks Parlemen, Jakarta. Aditya Pradana Putra/Antara Foto

Akademisi: Berdoa tak cukup, Indonesia perlu pembangkangan sipil

Nurul Fitri Ramadhani, The Conversation; Robby Irfany Maqoma, The Conversation

Pembangkangan sipil tak melanggar konstitusi, karena menjadi cara rakyat untuk melawan pembuat kebijakan yang terang-terangan menjadi pembangkang konstitusi.

Ekonomi

Isu Anak Muda

Kesehatan

Lingkungan

Pendidikan + Budaya

Politik + Masyarakat

Sains + Teknologi

In English