The Conversation

Halo, semua! Semoga selalu dalam keadaan sehat.

Kembali lagi dalam Nawala TCID. Hari ini, saya Robby Irfany Maqoma, Editor Lingkungan di The Conversation Indonesia, akan berbagi sorotan kabar terkait isu lingkungan di Indonesia dan mancanegara.

Pepesan kosong kawasan industri hijau

Presiden Joko Widodo berkali-kali menekankan rencana pemerintah untuk membangun kawasan industri hijau di Kalimantan Utara. Kawasan ini rencananya akan memproduksi barang-barang yang ramah lingkungan dengan menggunakan energi rendah karbon.

Nyatanya, investigasi Tempo menemukan proyek ini akan tetap disokong oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) raksasa di Kayan, Kalimantan Utara pun tersendat karena perkara birokrasi dan komitmen pengembangnya, yakni PT Kayan Hydro Energi.

Kawasan industri ini juga akan mengundang investor untuk membangun fasilitas pengolahan nikel. Padahal, penggunaan energi industri ini menghasilkan emisi ketiga terbesar di Indonesia.

Kandidat doktor University of New South Wales, Denny Gunawan, dalam analisisnya di The Conversation menyatakan kawasan industri hijau Indonesia semestinya berfokus pada industri hidrogen hijau yang dapat dikembangkan menjadi beragam produk industri. Sebab, kawasan tersebut dekat dengan Sungai Kayan yang menjadi sumber pasokan air untuk kebutuhan produksi hidrogen.

‘Dana hitam’ perbankan Indonesia

Semarak kesepakatan iklim dalam Perjanjian Paris 2015 lalu hanya terdengar lamat-lamat di industri perbankan nasional. Sejak tujuh tahun lalu, para bankir masih menggemari ‘pendanaan hitam’ alias pembiayaan sektor pertambangan batu bara.

Lembaga nirlaba internasional, Urgewald’s menyatakan enam bank Indonesia – empat di antaranya bank pelat merah, menggelontorkan dana bagi industri batu bara sebesar Rp 89 triliun selama 2018-2020.

Sebaliknya, pembiayaan sektor ramah iklim seperti energi terbarukan amat seret. Misalnya, dalam periode yang sama, Bank Mandiri hanya memiliki portofolio pembiayaan berkelanjutan sebesar 0,7% dari total pembiayaan yang sudah dikucurkan.

Fase enam kepunahan massal spesies di bumi

Analisis Pacific Biosciences Research Center, University of Hawai'i at Manoa di Amerika Serikar (AS) menyatakan, sejak tahun 1500, bumi telah kehilangan sekitar 150-260 ribu dari total 2 juta spesies fauna (termasuk invertebrata) yang telah teridentifikasi. Angka ini setara dengan kepunahan sekitar 300-520 spesies setiap tahun.

Sejumlah ilmuwan memprediksi kepunahan massal sudah terjadi dalam lima babak. Semua berawal sejak migrasi pertama manusia dari Afrika sekitar 200 ribu sampai 45 ribu tahun silam. Kini kita sedang menuju kepunahan massal ronde keenam .

Kehilangan yang disebabkan oleh aktivitas manusia ini tak bisa diperbaiki, sekalipun oleh upaya konservasi yang paling optimal. Perubahan iklim ditaksir akan mempercepat angka kepunahan spesies per tahun.

Sekilas riset

Sekelompok ilmuwan menemukan jejak nanoplastik di Greenland dan Antartika. Di Greenland, analisis menunjukkan sebagian besar nanoplastik yang ditemukan adalah polietilen (jamak digunakan untuk kantong plastik) dan debu ban kendaraan (sektor transportasi).

Polietilen juga terdeteksi sebagai material terbanyak di Antartika, diikuti dengan polipropilen (material plastik untuk kemasan produk).

Polusi ini – yang diduga terjadi sejak 50 tahun yang lalu – berembus ke Greenland dari kawasan Amerika Utara dan Asia. Sedangkan, kontaminasi nanoplastik di Antartika kemungkinan berasal dari arus laut.

Studi tersebut dapat diakses di jurnal Environmental Research sejak pekan lalu.

-

Nantikan hasil kurasi isu-isu terkini oleh editor The Conversation Indonesia lainnya yang dikirim langsung ke surelmu setiap hari.

Salam lestari!

Robby Irfany Maqoma

Editor Lingkungan

Lingkungan

 

Acara-acara yang ditampilkan

Workshop: Public Speaking untuk Sampaikan Hasil Riset

— Via Zoom, 13.00 WIB, Indonesia — The Conversation

Lebih banyak acara