Halo! Selamat datang di Sepekan Lingkungan.

Meski masa pandemi, DPR dan pemerintah akhirnya mengesahkan RUU Mineral dan Batubara, atau RUU Minerba, menjadi undang-undang tepat 12 Mei lalu.

UU ini mengundang protes dan kekecewaan dari aktivis lingkungan dan masyarakat sipil. Menurut mereka, pasal-pasal dalam RUU Minerba sangat berpihak kepada perusahaan.

Kekhawatiran masyarakat sipil bukan tanpa alasan. Batubara merupakan salah satu sumber emisi karbon dioksida, sehingga mendapatkan julukan sebagai “energi kotor”.

Persoalan penggunaan batubara sebagai bahan bakar juga menjadi sorotan kalangan agamawan.

Setidaknya 42 lembaga keagamaan dari 14 negara mendesak pemerintah di dunia untuk berhenti berinvestasi di batubara.

Lembaga keagamaan yang berasal dari Argentina, Australia, Bangladesh, Brasil, Kolombia, Ekuador, Indonesia, Irlandia, Italia, Kenya, Myanmar, Spanyol, Inggris dan Amerika Serikat tersebut meminta negara untuk mempertimbangkan penggunaan energi yang lebih bersih, belajar dari pandemi COVID-19 yang terjadi saat ini.

Selama pandemi, turunnya aktivitas manusia tidak serta merta menurunkan titik api di beberapa provinsi yang rentan dengan kebakaran hutan dan lahan terutama menjelang musim kemarau atau kekeringan.

Alhasil, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) melakukan modifikasi cuaca di tiga propinsi, yaitu Riau, Jambi, dan Sumatra Selatan.

Memasuki bulan ke-3 dari penetapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), banyak aktivitas manusia yang mengalami perubahan. Tapi, kita tidak boleh lengah terutama memasuki musim kemarau di mana kecenderungan terjadi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

Jangan lupa berlangganan Sepekan Lingkungan. Sampai jumpa minggu depan!

Salam.

Fidelis Eka Satriastanti

Editor Lingkungan Hidup

Lingkungan Hidup