The Conversation

Halo, semua! Semoga selalu dalam keadaan sehat.

Kembali lagi dalam Nawala TCID. Hari ini, saya Robby Irfany Maqoma – Editor Lingkungan The Conversation Indonesia, akan berbagi sorotan kabar terkait isu lingkungan di Indonesia dan mancanegara.

Emisi bumi tertinggi sejak 4 juta tahun

Observatorium Mauna Loa mencatat emisi karbon dioksida di atmosfer bumi per Ahad, 17 April lalu mencapai 420,87 parts per million (ppm). Angka ini disebut-sebut sebagai emisi yang tertinggi selama 4 juta tahun usia bumi.

Para pakar mengkhawatirkan emisi gas rumah kaca yang terus menumpuk. Sementara, emisi tersebut tidak bisa terserap optimal lantaran ‘infrastruktur’ alami penyerap emisi seperti hutan maupun lautan juga mengalami gangguan.

Umat manusia membutuhkan upaya bersama untuk memangkas separuh emisi gas rumah kaca paling tidak pada akhir 2030. Langkah mendesak ini amat dibutuhkan agar pemanasan suhu bumi tidak melampaui 1,5C pada akhir dekade nanti.

Tambang ilegal menjamur setelah UU Minerba versi baru

UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara dituding menjadi biang keladi menjamurnya pertambangan ilegal di Kalimantan Timur maupun Kalimantan Utara. Pasalnya, UU ini mengembalikan semua perizinan pertambangan ke pemerintah pusat.

Selain merusak lingkungan karena alat berat dan aktivitas pertambangan, pemerintah daerah juga menyatakan pertambangan ilegal ini tak menambah anggaran provinsi. Akibatnya otoritas daerah tak memiliki anggaran yang cukup untuk melakukan pemulihan lingkungan.

Beberapa hari setelah keluhan tersebut, Presiden menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 yang mendelegasikan kewenangan perizinan pertambangan ke provinsi. Namun aturan ini dianggap tak menyelesaikan persoalan pengelolaan sumber daya pertambangan yang bercorak sentralistik.

Corak perizinan seperti ini bermasalah karena pemerintah daerah tak memiliki kuasa untuk menolak pertambangan yang bertentangan dengan rencana daerah setempat. Ini terjadi dalam kasus pertambangan emas Kepulauan Sangihe.

Rating ‘green future’ Indonesia melorot

Indonesia mendapatkan rapor merah dalam Green Future Index (GFI) yang disusun oleh Massachusetts Institute of Technology 2022. Laporan ini mengukur komitmen pembangunan berkelanjutan nan rendah karbon di 76 negara. Peringkat disusun berdasarkan lima kriteria yakni emisi karbon, transisi energi, masyarakat hijau, inovasi ramah lingkungan, dan kebijakan iklim.

Dalam laporan ini, Indonesia menempati peringkat ke-70 yang termasuk dalam kluster ‘climate abstainers’ alias negara-negara yang diperkirakan akan tertinggal di era masa depan yang diprediksi bakal lebih hijau. Peringkat ini turun jauh dibandingkan tahun lalu, yakni 57.

Dari lima kriteria pemeringkatan GFI, Indonesia memiliki nilai terendah dalam hal transisi energi. Pasalnya, Indonesia masih ketergantungan dengan sumber energi fossil khususnya batu bara.

Sementara, dari belasan subkriteria, hanya konsumsi produk berbasis hewani Indonesia yang menempati nilai tertinggi – menyentuh angka 9 (dari 10) karena rendahnya konsumsi daging di tanah air.

-

Nantikan hasil kurasi isu-isu lainnya oleh editor The Conversation Indonesia yang dikirim langsung ke surelmu setiap hari. Salam lestari!

Robby Irfany Maqoma

Editor Lingkungan

Lingkungan

Sains + Teknologi