The Conversation

Korupsi di Tanah Air tiada hentinya. Setelah kasus korupsi komoditas timah dengan taksiran kerugian negara hingga Rp300 triliun yang melibatkan suami artis Sandra Dewi, Harvey Moeis, baru-baru ini publik dihebohkan dengan lansiran kajian dari Organized Crime and Corruption (OCCRP) yang menyatakan Presiden ke-7 Joko Widodo masuk dalam nominasi tokoh Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 2024 Bersama lima pemimpin dunia lainnya.

Perlu bukti data yang sah dan tentunya keberanian yang besar bagi OCCRP untuk bisa menuding seperti ini. OCCRP pun mengklaim bahwa penominasian Jokowi tersebut atas masukan masyarakat melalui voting terbuka. Namun, reaksi publik terlanjur heboh di jagat maya atas lansiran ini dan mengaitkan kembali salah satu kata yang melekat pada Jokowi yakni oligarki. Pun penyinggungan kembali atas dugaan gratifikasi putra sulung Jokowi Kaesang Pangarep yang berplesir menggunakan jet pribadi salah satu entitas e-commerce yang beroperasi di dalam negeri.

Ini tentunya menjadi alarm bagi kita semua. Memang sedikit kasus korupsi yang sudah terbukti melibatkan Jokowi dan keluarganya. Namun yang perlu kita dipahami adalah korupsi memiliki makna luas dan bisa diperantarakan. Hasilnya juga tidak melulu uang, tapi juga bisa menyangkut kebijakan, penunjukan orang, dan pembiaran. Dan Presiden sebagai orang nomor 1 negara memiliki kewenangan mutlak untuk melakukan berbagai kebijakan negara yang tak hanya menyoal jabatan kenegaraan, APBN ribuan triliun, bisnis dan aset BUMN, tapi juga mencakup pihak non-pemerintahan seperti bisnis yang dilakukan oleh pihak swasta.

Adanya kesadaran masyarakat terhadap dugaan korupsi yang tinggi yang disampaikan oleh OCCRP tersebut perlu diapresiasi dan dilindungi. Sudah seharusnya pemerintah mewadahi inisiatif masyarakat tersebut melalui sistem pengawasan dan penegakan hukum yang tidak pandang bulu. Laporan masyarakat seperti ini perlu ditindaklanjuti oleh pihak terkait untuk dibuktikan bahkan disidangkan tentunya dengan menerapkan asas praduga tak bersalah.

Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabumi Raka perlu merealisasikan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi di masa jabatannya. Terlebih Prabowo dan Gibran masing-masing memiliki latar belakang yang lekat akan potensi korupsi itu sendiri yakni berasal dari (mantan) keluarga Cendana yang berkuasa lebih dari 32 tahun dan putra dari Presiden Jokowi. Banyak argumen yang mengatakan korupsi adalah pelumas pembangunan. Tapi satu hal yang pasti untuk bisa mensejahterakan masyarakat dan membangun negara maju bisa tercapai tanpa korupsi.

Salam.

Andi Ibnu Masri Rusli

Economy Editor

spixel/Shutterstock

Mengapa korupsi masih marak terjadi?

Adrian Azhar Wijanarko, Paramadina University

Tingginya kasus korupsi hingga kini mengindikasikan bahwa selama 20 tahun KPK berdiri, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menciptakan masyarakat yang bebas dari tindak pidana korupsi. KPK bukan menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki kewajiban untuk menangani praktik korupsi. Kepolisian dan Kejaksaan juga memiliki wewenang dalam menindak tindak pidana korupsi. Perlu adanya komitmen kuat dari segala lini penegak hukum dan pemerintah untuk menghentikan tunas-tunas korupsi tumbuh di masa depan.

Proyek konstruksi di pinggir tol Jakarta-Cikampek. Herdik Herlambang

Riset: menelaah penyebab dan cara melawan korupsi infrastruktur di Indonesia

Rian Mantasa Salve Prastica, The University of Queensland

Kerugian akibat korupsi sektor konstruksi makin melambung tiap tahunnya, dan ini bisa membahayakan keselamatan pengguna. Sebuah riset berusaha membedah mengapa korupsi begitu kental di industri ini.

Ekonomi

Kesehatan

Lingkungan

Pendidikan + Budaya

Politik + Masyarakat

Sains + Teknologi

In English