Halo! Selamat datang kembali ke “Sepekan Lingkungan”, nawala khusus lingkungan dari The Conversation Indonesia.
Sepekan kemarin, Prof Zuzy Anna, guru besar perikanan dan kelautan Universitas Padjajaran, menjawab tantangan saya untuk menulis tentang Seaspiracy, film dokumenter terbaru Netflix, yang disutradarai oleh Ali Tabrizi, aktivis lingkungan asal Inggris.
Beliau sampaikan sempat menangis pada bagian pembantaian satwa (spoiler!), yang ada di penghujung dokumenter. Adegan tersebut memang bukan tayangan yang mudah untuk dilihat, bahkan bagi saya.
Meski pun banyak tantangan dan persoalan yang harus dihadapi laut, Prof Zuzy tetap menegaskan bahwa perikanan berkelanjutan itu ada, dan bukan mitos.
Tentu saja, keberhasilan perikanan berkelanjutan atau sustainable fisheries ini juga bergantung kepada banyak faktor, mulai dari sumber daya manusia, teknologi, hingga pengawasan.
Beralih ke serial Oceans 21, kami telah menerbitkan artikel, yang sayangnya kurang menggembirakan, terkait kondisi satwa laut di kawasan ekuator yang pindah ke daerah kutub dan “kestabilan”
laut berarti membawa banyak masalah bagi manusia.
Para peneliti asal Australia dan Selandia Baru mengeluarkan laporan terbaru yang memperlihatkan bahwa kenaikan suhu laut, terutama di kawasan ekuator (tropis), membuat satwa laut berpindah mencari yang lebih dingin (menuju kutub).
Perpindahan massal ini, secara historis, berakibat kepunahan spesies. Lebih lanjut, kepunahan satwa juga akan berdampak kepada ketahanan pangan manusia.
Sementara, peneliti kelautan di Universitas Plymouth, Inggris, Phil Hosegood, juga menyatakan dampak negatif lainnya dari kenaikan suhu laut, yaitu lautan yang stabil.
Namun, ia menyatakan kita perlu mewaspadai laut yang “stabil” dalam menyerap panas, karena terlalu banyak yang diserap akan mengganggu ekosistem dasar laut, seperti terumbu karang.
Sebelum menutup nawala kali ini, jangan lupa besok, 22 April, adalah Hari Bumi. Nantikan “SuarAkademia” episode spesial Hari Bumi, bersama Saras Dewi, dosen Filsafat, Universitas Indonesia dan aktivis lingkungan, di Spotify, Google Podcast, Apple Podcast, dan YouTube.
Sekian nawala kali ini, sampai jumpa dalam episode berikutnya!
Salam!
|
Lingkungan
|
-
Zuzy Anna, Universitas Padjadjaran
_Seaspiracy_ memang menunjukkan persoalan serius kelautan global, seperti eksploitasi perikanan tangkap dan perbudakan. Namun, perikanan berkelanjutan bukan mitos.
-
Phil Hosegood, University of Plymouth
Perubahan iklim menguatkan pembagian antara permukaan laut dan jurang lautan.
-
Anthony Richardson, The University of Queensland; Chhaya Chaudhary, University of Auckland; David Schoeman, University of the Sunshine Coast; Mark John Costello, University of Auckland
Perubahan iklim telah membuat lautan tropis terlalu panas bagi beberapa spesies. Ketika berpindah ke arah kutub, akan berdampak besar bagi ekosistem dan mata pencaharian manusia.
-
Ricardo Tapilatu, Universitas Papua
Keterbaruan status kalabia, spesies hiu berjalan endemik Indonesia, seharusnya bisa mendorong perlindungan penuh bagi spesies ini,
-
Virginie Letschert, Lawrence Berkeley National Laboratory; Michael McNeil, Lawrence Berkeley National Laboratory
Teknologi efisien energi bisa menghemat miliaran rupiah dan menghindari pembangunan 50 pembangkit listrik pada 2030.
-
Jonathan D Smith, University of Leeds
Persoalan perubahan iklim tidak hanya soal sains dan teknologi, melainkan juga soal moral, etis, dan spiritual tentang cara kita hidup.
-
Laila Kholid Alfirdaus, Universitas Diponegoro
Perempuan di Indonesia melakukan aktivisme lingkungan justru berasal dari gerakan keseharian yang relevan.
-
Tammara Soma, Simon Fraser University
Indonesia bebas sampah 2035 bisa tercapai melalui tiga strategi untuk mengurangi sampah makanan.
|
|