The Conversation

Halo, pembaca! Semoga selalu dalam keadaan sehat.

Kembali lagi dalam Nawala TCID. Hari ini, saya Robby Irfany Maqoma – Editor Lingkungan The Conversation Indonesia, akan berbagi sorotan kabar serta analisis teranyar seputar isu lingkungan di Indonesia dan mancanegara.

Resep manjur kenaikan populasi pari manta Raja Ampat

Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat, adalah habitat bagi kebanyakan pari manta karang di Indonesia. Satwa laut ini bukanlah mamalia, melainkan ikan bertulang rawan yang masih berkerabat dengan hiu.

Manta menjadi spesies yang rawan karena karakter biologisnya, sekaligus karena perburuan ataupun tidak sengaja tertangkap para pemburu hiu.

Guna melindungi keanekaragaman hayati sekaligus menjaga akses pangan laut bagi masyarakat lokal, pemerintah Raja Ampat membangun jejaring Kawasan Konservasi Perairan sejak tahun 2007.

Nah, riset terbaru dari peneliti ekologi perairan, Edy Setyawan, berhasil membuktikan buah manis dari upaya konservasi tersebut. Populasi pari manta karang di Raja Ampat terus tumbuh selama satu dekade.

Tren ini menjadi kabar positif karena di beberapa daerah seperti Mozambik ataupun Filipina, populasi manta justru menurun.

Apa saja kunci sukses pelestarian manta di Raja Ampat? Simak artikel Edy selengkapnya di sini.

Apakah konservasi satwa berbasis warga bagus? belum tentu

Sekarang, kita beralih sebentar ke Afrika, tepatnya di Kenya.

Di negara ini, aktivitas konservasi satwa liar berbasis warga cukup populer. Setidaknya ada 76 area konservasi yang berbasiskan lahan milik komunitas warga dan didukung organisasi lokal hingga internasional. Area ini menjadi tempat perlindungan satwa liar seperti zebra, jerapah, dan sebagainya. Warga menerima fulus dari pemerintah ataupun lembaga donor tertentu.

Namun, menurut pakar dari Washington University in St Louis di Amerika Serikat, Carolyn Lesorogol, aktivitas ini memiliki dampak yang tidak bisa diremehkan. Misalnya, menurut studi Lesorogol, praktik konservasi warga justru memicu konflik dengan satwa liar yang lebih tinggi. Ini belum dihitung dengan dampak habitat satwa liar yang terfragmentasi.

Ulasan lainnya dari Lesorogol dapat dibaca di tautan ini.

Saatnya reformasi Bank Dunia dan IMF untuk melawan perubahan iklim

Dalam konferensi iklim PBB ke-27 (COP27) di Mesir beberapa waktu lalu, Perdana Menteri Barbados, Mia Mottley melontarkan wacana reformasi besar-besaran Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk menggenjot pendanaan aktivitas yang ramah lingkungan.

Usulan Mortley sebenarnya bermuara pada isu keadilan iklim yang semestinya menjadi hak-hak negara miskin yang berkontribusi paling kecil terhadap emisi gas rumah kaca, tapi merasakan dampak terbesar perubahan iklim.

Nah, ucapan Mortley bukan kaleng-kaleng. Ini didukung juga oleh hasil studi yang menyatakan bahwa aksi Bank Dunia maupun IMF justru menghambat proyek-proyek energi bersih skala besar yang amat dibutuhkan untuk melawan dominasi energi fosil.

Namun, seperti apa reformasi yang harus ditempuh kedua lembaga ini? Simak analisis selengkapnya dari Asisstant Professor of Finance Bocconi University Italia, Nicola Limodio.

-

Nantikan hasil kurasi isu-isu lainnya oleh editor The Conversation Indonesia yang dikirim langsung ke surelmu setiap hari.

Salam lestari!

Robby Irfany Maqoma

Environment Editor

Lingkungan